Newest Post

I Kiss You^^ - Ai no Kisetsu ~ Yuugata no Yuuhi - Love II

| Rabu, 11 Juli 2012
Baca selengkapnya »

LOVE II



***

KOWARETA KOKORO ~ BROKEN HEART



***

Semuanya berawal dari hari itu. Hari di mana aku pertama kali pindah ke apartemen yang kutinggali sekarang. Saat itu, aku tengah membereskan barang-barangku sambil membayangkan akan jadi apa hidupku mulai sekarang. Apa aku dapat bertahan hidup sendirian seperti ini? Atau apakah aku dapat tetap menjaga kesehatanku setelah pergi jauh dari rumah dan tidak akan ada lagi yang merawatku? Semua itu bercampur aduk di kepalaku selagi tanganku sibuk memindahkan barang. Dan saat itulah orang itu tiba-tiba muncul. . .

“Yo! Namamu Haru, ya kan?” Sapa orang itu yang tiba-tiba muncul di dalam kamarku - entah kapan dia masuk, aku bahkan sama sekali tidak menyadarinya.


“Da-darimana kau masuk ke kamarku!? La-lagipula, kau ini siapa? Kenapa tahu namaku?” Tanyaku dengan gugup dan ketakutan melihat orang asing di dalam kamarku itu.


“Ah, maaf aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Yukihiro Minamoto, tetangga sebelah kamar sekaligus teman sekelasmu. Mungkin kau tidak sadar, tapi tadi aku benar-benar ada di kelas yang sama denganmu. Jadi, yoroshiku!”

Gayanya memperkenalkan diri dengan begitu santainya awalnya membuatku tidak suka dengan orang yang ada di hadapanku ini. Aku memang tidak terlalu suka dengan orang yang sok akrab dan banyak bicara seperti orang yang satu ini. Tapi entah mengapa, bahkan hingga aku selesai membereskan semua barangku, aku tidak pernah memintanya meninggalkan kamarku sekalipun. Aku merasakan sebuah aura misterius yang mengatakan padaku bahwa aku tidak bisa begitu saja membiarkannya pergi. Bila saat itu aku memaksanya pergi, tentu saja semuanya tidak akan jadi seperti ini. Dan tentu saja, aku tidak akan dapat bertemu dengannya.

Setelah itu, aku mulai akrab dengan Yukihiro. Meski sebenarnya, sangat berat sekali bagiku berteman dengannya karena dia kerap kali menghilang dari pandanganku dan tiba-tiba muncul di tempat tak terduga. Bahkan bukan hanya itu, dia juga tidak jarang muncul bersama seseorang yang sama sekali tidak terduga. Ya, sama seperti saat itu ketika tiba-tiba dia muncul dengan orang yang sama sekali tidak pernah kuduga akan menjadi mimpiku. Seseorang yang dengan sekuat tenaga berusaha kujangkau dengan tanganku, tetapi dia sama sekali tak mau menyambutnya, bahkan dia sama sekali tidak berpikir untuk menoleh ke arahku sedikitpun.

“Aaah, dasar Yuki itu! Dia benar-benar lama sekali hanya untuk membeli makanan. Padahal kalau mau makan pizza cukup memesannya saja lewat telepon kan? Kenapa harus capek-capek datang ke sana untuk membelinya? Aaaah! Aku sama sekali tidak mengerti pemikirannya.” Aku berulangkali mengeluh dengan perut kosong yang terus memanggil makanan untuk mengisinya.

BRAAAK!

Pintu kamarku terbuka.

Dengan penuh harap, aku menoleh ke arah pintu dan mengharapkan kawanku itu membawa sekotak atau dua kotak pizza untuk mengatasi rasa laparku. Tapi, pemandangan yang kudapati di sana sama sekali berbeda dengan apa yang kubayangkan, malah dapat kukatakan bahwa ini sama sekali tidak dapat kubayangkan. Bukanlah pizza yang dibawa olehnya, melainkan seorang gadis yang sebaya kami dengan rambut panjang berdiri di belakangnya. Cahaya bulan yang cukup terang kala itu membuatku dapat melihat sedikit raut wajah tsundere-nya yang tengah kesal.

“Yuki, itu. . . kenalanmu?”

“Kenalan? Kau ini suka bercanda, Haru. Tentu saja bukan, malah aku baru bertemu dengannya tadi di toko pizza. Kami tadi berebut kotak pizza yang terakhir berdua. Aku jadi benar-benar lupa tujuanku ke sana, dan tanpa sadar kami berdua telah menghabiskan kotak pizza terakhir itu. Ketika aku sadar aku langsung terpikir, “Aaaah. . . Pasti Haru kelaparan sendirian di apartemen sana.”. Jadi, kupikir akan lebih baik kalau aku membawanya juga kemari. Bagaimana?” Jelas Yukihiro dengan wajah polos.

“APANYA YANG BAGAIMANA!? Kau sudah jelas-jelas MENCULIK seseorang kan!?”

“Kau terlalu memujiku, Haru. Aku belum sepandai itu sampai bisa menculik seseorang, hahaha!”

“Aku sama sekali tidak memujimu. Dan lagi, lihat, dia juga kelihatan kesal kan?”

“Ah! Apa benar?” Yukihiro menatap wajah gadis itu yang tampak masih kelihatan kesal.

“Berhenti melihatku seperti itu! Kau membuatku semakin kesal saja!” Kalimat pertama yang keluar dari gadis itu, sekalipun adalah ungkapan kesal, tapi entah mengapa bagiku itu adalah suara yang hangat, ramah dan dapat menggetarkan hatiku. Hanya saja di sisi lain, untuk pertama kalinya hatiku merasa sedikit sakit karena suara yang pertama kali kudengar itu bukanlah untukku, melainkan untuk si bodoh ini.

“Ma-maafkan dia, Yukihiro memang orang yang seperti itu.” Kubungkukkan badanku meminta maaf pada gadis yang terlihat masih kesal dan tidak peduli itu.

“Oi! Oi! Oi! Haru! Kau tidak perlu minta maaf begitu, kita ini tidak salah apapun kan?”

“Yuki, sampai mana kau mau keras kepala begitu? Kau juga minta maaf padanya!”

“Eh? Memangnya kenapa aku harus minta ma ,-“

“Sudahlah!” Dengan paksa kutarik badan Yukihiro agar ikut membungkuk sepertiku.

“Hh! Kalian ini para lelaki yang hidup sendirian memang menyedihkan. Tapi, karena kalian sudah minta maaf dengan sungguh-sungguh, jadi kupikir aku akan belikan kalian makanan.”

“Aaaah, benarkaaah?” Tanyaku tidak percaya.

“Tentu saja. Biarpun begini, tapi aku orangnya baik, tidak seperti temanmu itu!” Jawab gadis itu seraya melemparkan tatapan tajam ke arah Yukihiro.

“Apa maksudmu itu!? Kau ini ya ,-“

“Sudah, Yuki! Sudah cukup! Dia ini sudah berbaik hati membelikan kita makanan, jadi jangan mengganggunya lagi. Jadi, tadi siapa namamu?”

“Ah, maafkan aku belum memperkenalkan diriku, namaku ,-“

“A-KU-MA~Chan, ya kan?” Yukihiro memotong perkenalan gadis itu. Tak pelak, itu memancing lagi emosi sang gadis yang telah mulai tenang. Akhirnya keributan pun tak terelakkan lagi. Baru setelah beberapa saat, mereka pun berhenti bertengkar dan entah ini semua ide dari siapa, tapi akhirnya aku dan gadis itu pergi keluar membeli makanan bersama. Tentunya itu semua setelah berhasil mengurung Yukihiro sendirian di kamarku, itu pun dengan susah payah pula. (Notes: Akuma = Evil)

“Oh ya, namaku Fuyumi Higashi. Yoroshiku ~ “ Sang gadis memperkenalkan dirinya kembali ketika kami berjalan di jalan setapak menuju ke apartemen setelah membeli makanan. Suaranya berbeda dengan yang tadi, tapi tetap masih terdengar hangat dan ramah, dan kali ini terasa lembut masuk ke dalam telingaku. Suasana yang tenang, dan cahaya bulan yang cukup terang menyadarkanku untuk pertama kalinya bahwa ternyata gadis yang sedari tadi berjalan di sampingku ini memiliki senyuman yang indah.

Selama beberapa saat aku terpaku melihat wajahnya hingga akhirnya dia menyadarkanku lagi. “Heeei ~ Kau tidak apa-apa kan? Namamu siapa?”

“Ah, maafkan aku. Aku jadi sedikit salah tingkah soalnya jarang-jarang aku bisa berjalan berduaaan dengan seorang wanita apalagi malam hari seperti ini. Perkenalkan, namaku Haru Takemoto.” Ucapku dengan bibir yang bergetar dan penuh perasaan gugup dalam hatiku. Dan untuk sejenak, kulihat dia tersipu malu mendengar kata-kataku itu. Dan untuk sejenak pula, saat itu aku merasa sangat senang sekali. Aku bersyukur dapat bertemu dengannya malam ini, meski itu semua karena Yukihiro yang membawanya. Ya, itu semua berkat orang itu sekarang aku bisa bertemu dengan Fuyumi. . .

***

Setelah malam itu berlalu, kami bertiga pun semakin akrab. Apalagi, kemudian kami mengetahui bahwa Fuyumi juga satu sekolah denganku dan Yukihiro. Dari sanalah kami menjadi banyak menghabiskan waktu bersama. Tertawa, bercanda, dan selalu tersenyum setiap hari, seperti tidak akan pernah ada badai kesedihan yang menerpa kami pada hari-hari itu. Atau paling tidak, kami tidak mau membayangkan hal seperti itu terjad., Dan sekalipun itu terjadi di salah satu antara kami bertiga, maka dengan sekuat tenaga kami memasang senyuman terbaik kami sebagai topeng kebohongan berharap bahwa hanya diri kami sendiri yang menggenggam kesedihan itu.

Suatu hari suatu kejadian tak terduga menimpa kami bertiga dan hampir saja meruntuhkan ikatan persahabatan kami yang belum lama terbentuk. Yang paling buruk dari semua itu adalah, semua itu adalah kesalahanku. Suatu keegoisan dari hatiku yang membuat semua menderita, membuat topeng kebohongan kami retak dan hancur seketika menjadi berkeping-keping.

Hari itu sangatlah cerah, namun entah mengapa ramalan cuaca di televisi mengatakan bahwa hari ini akan berawan dan kemungkinan besar akan turun hujan. Dan pagi itu pun seperti biasa, aku berangkat sendirian. Kemudian entah darimana, Yukihiro muncul mengagetkanku.

“Yo! Ohayou ~ Haru-kun ~” Sapa Yukihiro menggodaku menggunakan kalimat sapaan yang biasa digunakan Fuyumi ketika menyapaku di pagi hari.

 “Berhentilah melakukan itu, Yuki!” Geramku.
Eh kenapa? Oh! Aku tahu. . . Pasti karena kau tidak mau orang lain menggunakan kalimat dari Akuma-chan-mu yang tersayang, ya kan? Benar-benar manis ~” Godanya lagi tak menghiraukan peringatanku.

“Sudahlah, berhenti menggodaku terus seperti itu, Yuki. Lagipula aku dan Fuyumi-chan tidak ada hubungan apa-apa.” Balasku menyangkal.

“Hmmm. . . Apa kau yakin, Haru? Kalau begitu apa boleh aku bersamanya?”

Aku terdiam. Sebenarnya, aku ingin sekali menjawab “tidak” atas pertanyaan Yukihiro itu. Namun, sesuatu di dalam hatiku menghalangiku untuk mengucapkannya setiap kali melihat mereka berdua. Aku merasakan ada sesuatu yang berbeda antara aku dan Fuyumi bila dibandingkan dirinya dengan Yukihiro. Aku melihat sebuah jarak yang tak dapat aku sebrangi menuju tempat mereka berdua berada. Dan karena itulah, bibirku hanya dapat membeku ketika harus menjawab pertanyaan Yukihiro itu.

“Oi, Haru? Aku hanya bercanda saja kok, hanya bercanda. Lagipula, siapa juga yang mau jatuh cinta kepada gadis segalak Akuma-chan itu? Aku sih lebih memilih gadis yang lebih dewasa dan tenang. A-haha, hahaha!”

“Tidak apa-apa kok, Yuki, aku ,-“

“Maaf kalau aku tidak bisa menjadi gadis yang DEWASA dan TENANG.” Belum usai aku berucap, Fuyumi yang datang menghampiri segera menyela pembicaraan kami berdua. Wajahnya nampak kesal, dan dengan mudah aku bisa menebak itu pasti karena kalimat Yukihiro barusan,

“Aku~ma~chaaaan ~ ! Kau akhirnya datang juga! Aku rindu padamu, datanglah ke ayaaah ~ !” Yukihiro mendekat ke arah Fuyumi dengan memasang wajah aneh, berusaha memberikan pelukan pada Fuyumi layaknya sepasang ayah dan anak.

“Jangan mendekat kau, Yuki-daruma! Dasar orang mesum!” Fuyumi yang memang selalu terganggu dengan candaan Yukihiro itu, tidak segan-segan melayangkan pukulan baik dengan tangan kosong maupun dengan tas sekolahnya ke wajah Yukihiro. Dan bila sudah seperti itu, maka akulah yang akan bertugas menjadi pelerai mereka berdua.

“Haaaah. . .” Desahku panjang seraya menengahi mereka berdua. “Kalian berdua ini selalu saja ribut setiap kali bertemu, seperti anjing dan kucing saja. Hati-hati lho, orang bilang kan dari benci bisa saja jadi cinta. Siapa tahu kalian berdua yang selalu bertengkar setiap hari seperti ini, suatu hari nanti bisa saling romantis pada satu sama lain.” Ucapku tak sadar dengan maksud bercanda.

“Tentu saja itu tidak akan terjadi, Haru! Aku, kau dan Akuma-chan akan terus seperti ini, selamanya akan berteman. Ya kan, Akuma-chan?”

“. . . . .” Tak kudengar jawaban yang keluar dari bibir Fuyumi. Dia menundukan kepalanya dan mengalihkan pandangannya dari kami berdua. “Baka!” Lalu, hanya sebuah kata itulah yang terlontar dari mulut Fuyumi seraya langkahnya yang terlihat begitu terburu-buru meninggalkan kami.

Langit pagi yang awalnya begitu biru dihiasi oleh awan putih dan disinari oleh mentari yang memancarkan cahaya cerahnya, tiba-tiba berubah kelabu. “Ah, seperti akan turun hujan sebentar lagi. Ternyata, pembawa acara ramalan cuaca itu benar. Hujan. . . Akan datang. . .”

***

Semenjak hari itu, aku merasakan sedikit perubahan di antara kami bertiga, terutama tentang sikap Fuyumi terhadap Yukihiro. Sejak mendengar kata-kataku itu, Fuyumi jarang sekali meladeni candaan maupun godaan dari Yukihiro, dan malah terlihat dia sangat menghindari sekali bahkan untuk bertemu dengan Yukihiro sekalipun. Hal itu semakin membuatku merasa bersalah kepada mereka berdua, terutama kepada Fuyumi. Aku merasa sangat bersalah karena telah mengatakan hal yang seharusnya tidak aku katakan. Saat itu, aku pun berpikir, bahwa seandainya aku bisa menjadi seperti Yukihiro yang terlihat selalu tenang dan mungkin “polos” dalam menghadapi perasaan orang lain, mungkin aku bisa menyelesaikan semua masalah ini. Namun, justru itulah yang menjadi salah satu kesalahan terbesarku yang hingga sekarang kadang sesekali aku masih menyesalinya.

Di suatu sore, sepulang sekolah. Saat itu, hampir sudah tidak ada lagi seorang siswa pun yang ada di sana kecuali aku, dan tentunya Fuyumi, yang entah kenapa hari itu tiba-tiba memanggilku untuk bicara berdua saja dengannya. Awalnya, aku sempat ragu untuk pergi menemuinya. Namun, bagian diriku yang telah memutuskan ingin berubah menjadi seperti Yukihiro memberikanku keberanian untuk melangkah ke dalam ruangan kelas yang telah kosong.

“Y-Yo! A-Apa kabar, Fuyumi-chan?” Sapaku dengan begitu gugup dan kikuk.

“Ba-Baik-baik saja tentunya.” Jawab Fuyumi tanpa menatapku.

“La-lalu, ada apa kau memanggilku kemari? Jangan-jangan kau mau mengungkapkan perasaanmu kepadaku ya? Aku bercanda, hahaha ,-“ Tawa kakuku itu langsung kuhentikan ketika Fuyumi mengeluarkan sebuah kotak dari laci meja duduknya. Tangannya yang menggenggam kotak itu perlahan dia julurkan kepadaku. Dan dengan kesunyian kami berdua, tanpa sepatah katapun yang terucap dari mulut Fuyumi, sosoknya yang diterpa sinar matahari senja membuatku terpaku.

Sekujur tubuhku kurasakan membeku. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Suasana itu terus berlanjut hingga beberapa saat sampai kulihat tangan Fuyumi mulai lelah dan bergetar. Saat itu juga, bagian diriku yang ingin menjadi “polos” seperti Yukihiro mengalahkan semua rasa yang ada di dalam diriku. Kuraih kotak berpita merah yang digenggam Fuyumi, dan kemudian Fuyumi pun mengangkat kepalanya dan menatapku dengan senyuman lembutnya.

“Ini untukku kan? Aku buka sekarang ya? Terima kasih ya, Fuyumi-chan.” Dengan polosnya aku berkata dan mulai membuka kotak hadiah dari Fuyumi. Ketika itu, aku terlalu fokus kepada benda dalam tanganku itu dan tidak memperhatikan ekspresi wajah Fuyumi yang terlihat kaget dan berubah pucat.

Selembar kertas dan sebuah bungkusan kecil terselip dalam kotak berpita merah itu. Kutaruh kotak itu di meja di dekatku dan hanya mengambil kertas yang ada di dalam kotak itu. Perlahan kubuka dan kubaca sepenggal kalimat di dalam kotak itu.

Untuk sahabatku, maafkan aku telah bersikap aneh kepadamu akhir-akhir ini. Tapi, semua itu tentunya memiliki alasan. Setelah aku mendengar kata-kata itu, aku menjadi sadar akan semuanya. Kita memang selalu bertengkar dan tidak pernah akur, dan aku tahu semua itu tidak bisa terus berjalan seperti ini. Karena itulah, aku ingin kau menerima hadiah ini dan mengetahui bahwa aku sangat suka padamu. . . Yuki-daruma.

Aku terkejut bukan main dengan apa yang tertulis di kertas itu. Hatiku seolah-olah akan hancur seketika itu juga ketika aku selesai membaca kalimat terakhir yang tertulis di sana. Bukan hanya karena aku mengetahui kenyataan pahit bahwa perasaanku tak terbalas, tapi juga karena kebodohanku yang berpura-pura menjadi seseorang yang bukan diriku, dan semua itu justru hanya menyakiti orang yang ada di dekatku. Aku seharusnya tahu dan sadar dari awal, bahwa menjadi orang lain bukanlah jalan untuk menyelesaikan masalah, melainkan jalan untuk melarikan diri dari kenyataan pahit yang telah menunggu.

“Fuyumi-chan, jadi hadiah ini sebenarnya untuk, Yuk ,-“

PLAK!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Kemudian, Fuyumi berlari keluar tanpa mengatakan sepatah katapun. Dan meskipun hanya sesaat, tapi sinar matahari senja memperlihatkanku sebuah sosok orang yang sangat kusayangi pergi berlari dengan berlinang air mata. Dia berlalu dengan cepat meninggalkanku di dalam ruangan kelas yang telah kosong dan terasa hampa ini. Yah, sama seperti hatiku yang telah hancur dan terasa hampa ini.

TO THE NEXT LOVE. . . . .

I Kiss You^^ - Ai no Kisetsu ~ Yuugata no Yuuhi - Love II

Posted by : NAKAMORI KYORYUU
Date :Rabu, 11 Juli 2012
With 0komentar

I Kiss You^^ - Ai no Kisetsu ~ Yuugata no Yuuhi - Love I

| Senin, 02 Juli 2012
Baca selengkapnya »
LOVE I

***

BOKURA NO HIBI ~ OUR DAYS

 ***

Setiap orang pasti pernah bermimpi dan memiliki mimpi. Meskipun pada setiap orang berbeda, entah itu bentuk mimpi itu sendiri atau tentang seberapa berharganya mimpi itu bagi mereka. Tapi, yang pasti adalah bahwa paling tidak meski sebentar, sejenak, sekejap, semua orang pasti pernah memiliki mimpi. Begitupun diriku.

Seiring dengan berjalannya waktu, kadangkala mimpi setiap orang dapat berubah. Mimpi atau bunga tidur yang kita lihat setiap kali terlelap itu adalah suatu yang pasti - setiap kali pasti akan berubah. Dan tentu saja, mimpi yang kubicarakan bukanlah tentang suatu seperti ilusi yang hanya dapat kita ingat dalam kepala, dan bahkan tidak dapat menangkapnya. Sesuatu itu adalah suatu yang ada di hadapan mata kita, namun kadang tidak bisa kita lihat karena kita tidak menyadarinya.
Enam belas tahun hidup di dunia. Bagi sebagian besar orang mungkin itu waktu yang sebentar - terutama untuk orang dewasa yang usianya jauh lebih tua daripada kami, para anak muda. Tapi bagi kami, usia bukanlah suatu ukuran untuk lama tidaknya kami telah berada di dunia. Yang paling penting, adalah seberapa banyak orang yang telah kami temui, seberapa besar perubahan yang telah kami lakukan dengan tangan kami. Dengan menoleh ke belakang dan memandang semuanya itu, kami dapat menyadari betapa lamanya telah melalui waktu sendirian dan tanpa bisa melakukan apapun. Ataupun, kami dapat menyadari bahwa betapa sebentar dan berharganya waktu kami dengan bertemu orang-orang di sekitar kami, meskipun tak jarang yang kami perbuat hanyalah perbuatan konyol yang tidak berguna.

Aku adalah salah satu dari bagian dari mereka - salah seorang pemuda, yang entah telah atau masih mencari jati diri sendiri demi bisa memandang masa depan tanpa harus takut menatap silaunya cahaya matahari, ataupun tanpa harus takut basah ketika mendung mengubah langit menjadi kelabu pertanda akan datangnya hujan.

Ketika masih kecil, aku masih ingat bagaimana aku menjalani hidup. Begitu ringan tanpa beban, tanpa ada seseorang di sekitarmu yang mengharapkanmu untuk melakukan sesuatu yang besar, meskipun yah mereka tetap menginginkanmu tumbuh menjadi seseorang yang besar. Tapi, meskipun sebenarnya hal itu ada, aku, dan bahkan orang-orang lainnya di luar sana, tak pernah merasa dan mempermasalahkannya. Dengan tangan kecil yang belum dapat menjangkau apapun, bagaimana kita tahu tentang semua itu?

Di saat itu pula, sesuatu dari dalam diri kita - tepatnya di dalam hati kita, bergejolak. Melihat semua orang di samping kita tersenyum, dapat melakukan apapun sesuka mereka, maka sebuah pemikiran naïf dan keinginan yang egois pun muncul.

“Aaaah. . . Ketika dewasa aku ingin seperti dia yang bisa seperti itu, ataupun seperti dia yang memiliki apapun.” Sebuah kalimat yang membuat orang tua, keluarga, dan bahkan orang lain pun tertawa mendengarnya. Kata-kata dari seorang bocah yang belum mengenal pahitnya kehidupan dan beratnya kenyataan yang akan dipanggulnya nanti ketika dia tumbuh dewasa.

Begitulah aku tumbuh selama enam belas tahun ini. Dengan dibesarkan oleh kedua orang tua yang bekerja di sebuah perusahaan percetakan dan majalah terkenal, aku dibuat serba tahu oleh mereka. Mereka selalu memperlihatkan hasil kerja mereka kepadaku dengan senyum dari wajah mereka yang berkeringat.

“Lihat, Haru! Ini adalah artikel yang ayah tulis bulan ini, bagus kan?” Ujar ayahku dengan bangga dengan memperlihatkan beberapa halaman majalah dari tempatnya bekerja. Kata-kata yang bersemangat, mata yang berkilauan ketika membolak-balik halaman demi halaman itu masih terus menempel di ingatanku hingga kini, meski sekarang aku tidak dapat melihatnya lagi.

Kenapa?

Ya, itu semua karena setelah memasuki masa SMA, aku memilih untuk hidup sendiri di luar kota dan menguji diriku. Apakah semua yang telah mereka curahkan, dan semua yang telah mereka torehkan dalam lembaran demi lembaran kertas itu telah memberiku sesuatu, atau mungkin aku hanya membebani mereka? Dengan pemikiran seperti itu, aku memutuskan untuk lebih memilih tinggal di sebuah kamar di sebuah apartemen sederhana di pinggiran kota.

Sejujurnya kupikir bahwa kota yang kutinggali sekarang adalah tempat yang ramai. Tapi, setelah beberapa lama tinggal di sini, rasanya tidak mendengarkan ocehan kedua orangtuaku tentang isi majalah yang mereka kerjakan rasanya sepi juga. Paling tidak itu membuatku selalu update dengan dunia luar, meskipun memang aku tidak memiliki terlalu banyak lawan bicara untuk saling berbagi informasi itu.

Ya, aku ini adalah tipe orang yang sangat pendiam. Aku hanya berbicara ketika ada orang yang mengajakku bicara, ataupun ketika aku ingin berbicara kepada orang tersebut. Bagiku hanya membuang energi bila capek-capek kita mencoba berbicara kepada seseorang yang bahkan tak ingin berbicara kepada kita. Meskipun bagi sebagian besar orang menganggap semua itu aneh, tapi bagiku menjadi diriku sendiri adalah yang terbaik. Untuk apa berubah menjadi diri kita yang tercermin ketika kita berkaca kalau memang kita hidup di dunia nyata, bukan dunia cermin?

Di sekolah pun aku hanya memiliki beberapa teman dekat. Sekalipun dibilang begitu, entah dalam hatiku apa pernah menganggap diriku itu benar-benar memiliki teman atau tidak. Tapi paling tidak, seseorang yang dapat kuajak bicara dengan bebas tanpa perlu menjadi orang lain bisa kusebut seorang teman.

“Yo! Haru! Hari ini kau terlihat tidak terlalu sehat, apa ada masalah? Keuangan. . . atau masalah cinta mungkin? Hahaha!”

Orang yang baru saja menyapa dan menggodaku ini adalah Yukihiro Minamoto, enam belas tahun dan adalah teman satu apartemenku. Orang yang sangat misterius, dan muncul tiba-tiba entah dari mana. Seperti sekarang, bukannya muncul dan berangkat bersama dari apartemen, dia malah muncul dan menggodaku di taman yang letaknya tidak jauh dari sekolah.

“Kau ini Yuki! Selalu saja muncul dari manapun, dan lagi aku sama sekali tidak ada masalah.” Jawabku tegas.

“Hooo. . . Tapi sepertinya suasana hatimu memang sedang tidak baik ya? Apa ada masalah lagi dengan Akuma-chan? Kalian bertengkar lagi, ya kan?”

“Meskipun bertengkar, tapi itu hanya dalam sms saja, jadi tidak usah khawatir.”

“Justru itu yang aku sangat khawatirkan. Kalian jarang sekali bicara dan hanya bertukar pesan lewat handphone, jadi kalau bertengkar seperti ini bagaimana jadinya nanti?”

“Kubilang sudah tidak usah khawatir.”

“Yaaah, kau memang seperti itu sih, ya sudahlah. Tapi, kalau ada sesuatu jangan pernah ragu untuk meminta tolong kepadaku, ya? Ya? Ya?”

“Aku mengerti, jadi lebih baik kita cepat ke sekolah.”

Meminta bantuan kepadanya ya? Itu pasti akan jadi pilihan terakhir bagiku.

Semua orang buta akan perasaan mereka. Sebenarnya mungkin itulah yang paling aku inginkan saat ini. Tapi, kukira hanya aku dan orang bodoh di sampingku ini yang merasakan hal itu. Atau mungkin, hanya dia seorang yang tidak pernah menyadarinya, sadar akan kehadiran sepasang mata yang selalu mengawasinya dan memandangnya dengan perasaan yang tak pernah tersampaikan.

“Hoooo! Lihat itu, Haru! Akuma-chan! Dia hari ini juga benar-benar kawaii ~ ! Kau tidak mau menyapanya?” Tanya Yukihiro bersemangat.

“Ah, aku pas saja, lagipula setelah bertengkar mana mungkin dia mau melihatku dengan segera.” Jawabku pasrah.

“Kalau begitu aku sendiri yang akan menyapanya. Akuma-chaaaaaan ~ !”

“SUDAH KUBILANG JANGAN MEMANGGILKU SEPERTI ITU KAN!?” Gadis yang dipanggil Akuma oleh kawanku itu menggembung kedua belah pipinya pertanda kesal. Dia memandang kesal pada Yukihiro karena memanggilnya dengan nama itu. Ya, dia terus memandangnya tanpa kenal lelah, bahkan walaupun si bodoh itu tidak pernah menyadarinya. . .

Sesuatu yang ada di hadapanmu, tapi kau tidak pernah dapat melihat dan menyadari keberadaannya. Sesuatu yang sangat kau inginkan dan ada di depan matamu, tapi sekuat apapun kau merentangkan tanganmu, kau tak akan pernah dapat menggapainya. Keduanya memang berbeda, tapi bagiku semua itu sama saja, yang berbeda hanyalah sudut pandang dan apa yang kau rasakan ketika itu. Sama sepertiku dan Yukishiro, kami berdua ada dalam posisi itu tapi tentu saja kami merasakan hal yang sangat berbeda.

Si bodoh yang selalu melakukan hal konyol yang tidak pernah takut akan melukai seseorang, dan seseorang yang begitu menghargai sesuatu yang diinginkannya dan tidak ingin sesuatu itu hancur, begitulah kami berdua adanya. Kami berada dan berjalan di jalan setapak yang sama, tapi kemudian berbelok di persimpangan berbeda dan tiba di tujuan yang berbeda. Apa yang kami lihat tentu saja berbeda, meski sebenenarnya aku tidak yakin bahwa orang itu sadar bahwa dia berjalan ke arah yang berbeda. Tapi, sebenarnya aku pun tidak tahu apakah di ujung jalan ini benar-benar ada persimpangan dan kami berbelok ke arah yang berbeda atau tidak. Aku hanya merasa seperti itu. Ya, hanya seperti itu saja.

“Akuma-chan, lihat! Lihat! Haru-kun melihatmu dengan pandangan seperti orang mesum lhoooo ~” Goda Yukihiro pada gadis yang bernama asli Fuyumi itu.

“Oi! Yuki! Aku sama sekali tidak menatapnya begitu! Maafkan Yuki, dia memang suka berbohong begitu. Ah, tapi tentu saja kau sudah tahu, ya kan? Hahaha!” Aku tertawa dengan memasang raut wajah palsu ketika menghampiri mereka berdua. Aku berbicara seolah-olah ini semua adalah hal yang biasa, padahal sebenarnya memanggil namanya pun aku butuh keberanian ekstra. Tapi entah mengapa, bila orang bodoh ini ada di sebelahku aku merasa senang karena bisa berbicara dengan Fuyumi tanpa beban. Meski memang, hatiku terasa sedikit sakit ketika berada di antara mereka berdua.

“Tapi bukannya sedari tadi kau masih mengeluh karena bertengkar dengan Akuma-chan, ya?”

“Yuki! Itu rahasia! Jangan diberitahukan langsung kepada orangnya! Sssssst!”

“Lihat! Dia memang orang yang seperti itu, Akuma-chan! Beruntung sekali kalian hanya bertukar pesan dan kau tidak harus berbicara dengannya setiap hari seperti aku. Jujur kuakui, dia memang orang yang sangat sulit diajak bicara.”

“Yuki! Sudah cukup! Kau terlalu banyak bicara! Lihat, Fuyumi-chan pasti akan terganggu, ya. . . kan?”

Sebuah bulan sabit bersinar di wajahnya. Ah, maksudku sebuah senyuman terukir di wajahnya yang biasanya selalu terlihat dingin. Sedikit demi sedikit wajahnya terasa memancarkan sebuah kehangatan yang sangat jarang sekali kulihat.

“Lihat kan? Akuma-chan saja tertawa! Kau pasti berbakat menjadi seorang pelawak!” Yukihiro menepuk pundakku dan tertawa kecil menggodaku.

“Yuki! Kau ini memang -“

“Sudah cukup kalian berdua. Kau juga yang salah, Yuki-daruma!”

“Ah, Akuma-chan, sudah kubilang jangan pernah memanggilku lagi dengan nama itu kan!”

“Kau sendiri yang mulai dengan memanggilku dengan nama aneh itu, jadi kau tidak berhak untuk protes! Weee!”

“Huuuh. . . Ya sudahlah, aku mengaku bersalah. Kalau begitu untuk permintaan maaf, makan siang kali ini aku yang akan traktir! Kalian berdua pasti tidak ada yang membawa bekal kaaan?”

“Ah! Yuki! Benar kau menraktir kami berdua?” Tanyaku dengan sangat berharap.

“Oh! Tentu saja, Haru! Hidup sendiri memang berat, aku juga merasakannya.” Jawab Yukihiro membuat perutku, maksudku hatiku bernyanyi dengan riang. Bagi seseorang yang hidup sendiri, sebuah ajakan untuk menyantap makan dengan gratis adalah suatu berkah yang sangat diharapkan. Yah, setidaknya itu menurutku, entah dengan yang lain.

“Aku sih bisa saja, tapi perlu diingat kalau aku ini tinggal di rumah bersama orangtuaku, tidak seperti kalian para pria yang selalu ditemani dengan selimut dan melawan kesepian tiap malam.”

Hai, hai, hai. Aku mengerti, Akuma-chan.”

“Ah! Kau memanggilku dengan nama itu lagi! Harus kupastikan kalau makan siang besok, dan besoknya lagi kau juga harus mentraktir kami!”

“Eh!? Aku bisa bangkrut kalau seperti itu. . .”

“Oh ya? Mana aku tahu kalau begitu. Lagipula, memang aku peduli. Hh!”

“Sabar saja Yuki. Dia memang begitu, kau pasti sangat tahu kan?” Kutepuk bahu Yukihiro berusaha menenangkannya, meski sebenarnya aku bermaksud menggodanya balik.

“Itu sama sekali tidak menenangkanku! Kau menggodaku saja, ya kan?”

“Sudahlah kalian berdua. Sampai kapan kalian mau berada di sana, sebentar lagi jam pertama akan dimulai kan? Ayo kita bergegas!”

“Ah kau benar, Akuma-chan! Sudah jam segini, ayo kita cepat masuk kelas, Haru!” Yukihiro melihat jam tangannya dan mulai berlari menyusul Fuyumi yang berjalan lebih dahulu.

“Oh ya, karena Yuki akan mentraktir, bagaimana kalau kita mengundang dia juga?” Usulku dengan suara keras seraya berlari menghampiri kedua orang yang telah berada di depanku itu. Seketika itu pula, langkah kaki mereka yang bergegas tiba-tiba terhenti. Keduanya menundukkan kepala mereka. Bukan untuk melihat lantai ataupun mencari sesuatu yang hilang, tapi karena aku kelepasan mengatakan hal yang seharusnya tak aku katakan.

Ya, ‘orang itu’ yang kumaksudkan tidak lain adalah orang itu. Dia adalah seseorang yang mampu membuat Yuki yang selalu tenang tanpa memikirkan apapun lepas kendali. Dia mampu membuatnya lari menembus hujan, bahkan membuat air matanya mengalir seperti hujan yang membasahi tanah. Tapi, dia juga yang dapat membuat Yuki tersenyum lebih cerah daripada bulan sabit di malam hari seperti yang barusan kulihat di wajah Fuyumi. Ya, dia tidak lain adalah ‘Aki-san’, Akiko Yamada.

Ketika membicarakan Akiko, semuanya terasa terbalik. Bukan bagiku, tapi bagi Yukishiro yang kemungkinan akan kembali menyusuri jalan yang aku dan dia tempuh atau mungkin dia akan masuk ke dunia di dalam cermin dimana semuanya merefleksikan kebalikannya - kebalikan antara posisiku dan posisinya tentunya. Apa yang terjadi sebenarnya di antara mereka berdua? Aku masih belum bisa menjelaskannya sekarang.

“Ah, maaf Yuki, aku mengatakan sesuatu yang ,-“

“Tidak apa-apa, daripada itu lebih baik kita segera masuk kelas.” Yukihiro mengatakan itu dengan senyum tipis yang kaku di wajahnya. Ketika melihatnya, aku merasa mendengar suatu suara dari dalam hatinya. Suara seperti sesuatu yang retak dan akan hancur bila dia tidak memasang senyuman itu. Entah itu berasal dari hatinya, atau jiwanya, tapi mungkin berasal dari keduanya.

“Sudahlah, Haru-kun! Benar kata si bodoh ini, kita segera masuk saja.”

Sekali lagi, meski sedikit saja tapi ajakan halus dan senyuman di wajah Fuyumi menghilangkan rasa bersalahku. “Hm! Ayo kita semuanya masuk! Ooooosh!”

Begitulah akhirnya kami bertiga melangkah menuju kelas. Dengan topeng raut wajah palsu, kami terus berjalan menyusuri lorong menuju ruangan kelas, tanpa sedikitpun ingin memperlihatkan bagaimana rupa kami yang asli kepada masing-masing.

***

Suasana belajar berjalan sebagaimana biasanya. Sunyi, senyap, dan sangat tenang ketika guru di depan menjelaskan, bahkan bagi sebagian penghuni kelas suasana ini sangaaaatlah tenang. Di barisan paling ujung dan bangku paling belakang, Yukihiro dengan nyamannya menyelam ke dalam dunia mimpinya. Yah, begitulah yang dilakukannya di sela-sela pelajaran, dan itu hampir setiap hari terjadi. Aku sering sekali terpikir, sebenarnya apa yang dilakukannya tiap malam hingga paginya dia dapat tidur seperti orang mati begitu? Belajar kah? Tapi, kuyakin bukan itu. Meskipun begitu, biarpun hanya sekilas, tapi aku seperti melihat wajah seseorang yang kelelahan setelah berjuang keras.

Begitulah hari-hari kami sebagai seorang siswa berlalu. Ada saatnya kami belajar dengan serius, dan ada saatnya kami bertingkah bodoh dan konyol hanya untuk menghibur diri kami walaupun sesaat setelah berjuang keras. Ya, berjuang untuk meraih mimpi yang kami miliki. Sesuatu yang tidak dapat kami lihat dengan mata tapi dapat dirasakan dan dibayangkan. Dan meski kami tahu bahwa hari-hari setelah ini akan jauh lebih berat dari sebelumnya, kami tetap berjuang keras merentangkan tangan kami demi melukis mimpi kami menjadi sesuatu yang nyata dan dapat dilihat oleh semua orang, bukan hanya kami seorang. Dengan pemikiran seperti itu, aku pun tersenyum sembari melihat birunya langit dari balik jendela kelas.

TO THE NEXT LOVE. . . . .

I Kiss You^^ - Ai no Kisetsu ~ Yuugata no Yuuhi - Love I

Posted by : NAKAMORI KYORYUU
Date :Senin, 02 Juli 2012
With 0komentar

Fu-Fam - Time VI

|
Baca selengkapnya »
***



TIME VI: A MYSTERIOUS GUEST FROM FUTURE


***


“Bagaimana dengan hasil interogasinya?” Tanya WM pada salah seorang anak buahnya yang baru saja keluar dari ruangan pemeriksaan.

“Mereka sama sekali tidak merubah pernyataan mereka, komandan!” Jawab anak buahnya dengan sikap tegas.

“Jadi mereka tetap mengatakan kalau mereka dikalahkan oleh manusia yang dapat bergabung dengan Nitenoid?” Tanya WM lagi.

“Benar, mereka tetap tidak mengubah pernyataan tersebut berapa kali pun kami bertanya.” Jelas si anak buah.

WM menggaruk-garuk kepalanya dengan raut wajah bingung.

“Benar-benar orang-orang yang menyusahkan saja, tapi biarlah, justru ini akan jadi menyenangkan. Suruh orang-orang kita yang ada dalam ruangan pemeriksaan untuk keluar, aku sendiri yang akan memeriksa mereka!” Perintah WM tegas.

“Siap, komandan!” Sahut anak buahnya. Dia kemudian langsung berlari masuk kembali ke ruangan pemeriksaan, dan beberapa saat kemudian keluar lagi bersama dengan dua orang lainnya yang tadi tengah menginterogasi para tersangka.

WM menghampiri ketiga bawahannya itu sambil tersenyum senang penuh misteri, “Biarkan aku yang mengatasi mereka setelah ini, kalian istirahat saja.”

Melihat senyuman aneh di wajah komandan mereka, ketiga pasukan itu langsung bergidik ngeri.



“Ba-Baik, komandan!” Jawab mereka dengan gugup.

WM pun masuk ke dalam ruangan pemeriksaan.

Setelah komandan mereka pergi, mereka pun mulai menerka-nerka apa yang akan komandan mereka 
lakukan dengan para tersangka di dalam sana.

“Apa yang akan dilakukan oleh komandan kira-kira di dalam?”

“Entahlah, tapi mungkin dia akan melakukan sesuatu yang menyeramkan.”

“Ah, aku pernah mendengar tentang itu! Pasti komandan akan melakukan itu!”

“Apa yang kau maksud dengan ‘itu’?”

“Hukuman yang hanya bisa dilakukan oleh komandan seorang.”

“Heee. . . Hukuman macam apa itu memangnya?”

“Kalian pernah tahu kenapa komandan bisa jadi komandan di umurnya yang masih begitu muda seperti itu?” Tanya salah seorang di antara mereka bertiga yang nampaknya tahu semuanya.

“Tidak, kami sama sekali tidak tahu.” Sahut kedua temannya menggelengkan kepala.

“Dia dikabarkan punya kekuatan misterius. Dia menurut kabar selalu menghukum orang-orang dengan cara membuat mereka setengah mati dan tak sadarkan diri, dan katanya orang-orang yang itu setelah sadar akan meminta ampun dan tidak mau bertemu dengan komandan karena ketakutan.” Jelas si pasukan yang tahu segalanya.

“A-Apa komandan semenakutkan itu?” Tanya salah satu dari kedua kawannya tidak percaya.

“Justru itu, karena ketakutan yang diberikannya kepada para tersangka membuat namanya cepat terkenal, dan komandan sebelumnya akhirnya mengetahui itu. Komandan sebelumnya akhirnya memutuskan untuk pensiun karena merasa sudah ada yang bisa menggantikan dia dalam menangani kejahatan. Tapi, yang jadi masalah itu sebenarnya belum pernah ada satupun orang yang mengetahui kekuatan komandan WM yang sebenarnya, itulah sisi paling menakutkan darinya.” Jelasnya lagi meyakinkan kawannya tersebut.

“Ternyata dia jauh lebih mengerikan daripada apa yang kukira. . . Tapi, kalau dia memang punya kekuatan seperti itu, dia pasti popular kan di kalangan para gadis? Tapi sebenarnya aku belum pernah melihatnya dengan seorang gadis pun sih. . .” Komentar seorang yang lainnya.

“Ya, tentu saja! Dia sangat popular di kalangan para gadis, tapi dia selalu menolak para gadis tersebut dengan alasan dia sudah memiliki seseorang.” Kata si pasukan yang ‘serba tahu’ menanggapi.

“Ngomong-ngomong soal itu, aku pernah dengan rumor juga kalau komandan terburu-buru ingin menjadi komandan karena ingin mencari seseorang di masa lalu. . .” Kata si pasukan yang bertanya di awal.

“Ssssst! Jaga mulutmu! Kalau sampai komandan mendengarnya, kau bisa habis nanti.”

“Eh? Memangnya ada yang salah ya dengan kata-kataku?”

“Kau pernah dengar tentang menghilangnya salah seorang pasukan di pesawat ini?”

“Ah! Aku tahu tentang insiden itu! Tapi, sampai sekarang penyebab hilangnya awak itu masih belum diketahui, kan?”

“Eeeh. . . Aku tidak tahu soal itu sebelumnya.”

“Diamlah kalian berdua! Penyebab menghilangnya awak itu memang sengaja tidak diungkapkan ke public karena sebenarnya komandanlah yang melenyapkan awak itu dengan tangannya sendiri.”

“Heeeeee!? Yang benar saja!?”

“Menurut rumor yang kudengar komandan tidak sengaja mendengar kalau awak itu membicarakan tentang masa lalunya. Lalu, karena tidak mau jati dirinya terbongkar maka komandan pun memanggil awak itu, dan sejak saat itu awak itu menghilang entah kemana bagaikan ditelan oleh bumi.”

“Jadi dia benar-benar sesensitif itu ya orangnya, aku baru tahu. . .”

PLEK!

“Apa yang kau baru tahu?” Tanya WM yang tiba-tiba muncul sembari menaruh telapak tangannya di pundak salah satu bawahannya itu. Dia nampaknya telah selesai dengan pemeriksaannya sementara ketiga anak buahnya membicarakan dirinya.

“Tidak komandan! Aku baru tahu tentang cara memasak omuraisu dengan benar!” Jawab anak buahnya itu mengarang.

“Hooo. . . Kalau begitu kapan-kapan traktir aku dengan masak buatanmu, aku tunggu.” Kata WM seraya melangkah pergi meninggalkan ketiga anak buahnya itu membuat mereka dapat menarik napas lega.

“Haaaah. . . Untung saja dia tidak mendengar kita tadi.”

“Daripada itu, bagaimana dengan para tersangka? Ayo kita lihat!”

“Baiklah! Lebih baik kita pastikan saja apa yang komandan lakukan pada mereka.”

Ketiga orang itu kemudian masuk ke dalam ruangan pemeriksaan dengan terburu-buru. Di sana mereka mendapati pemandang yang sangat tidak sedap dipandang mata.

Ketiga orang tersangka telah kehilangan kesadaran mereka dalam kondisi mengenaskan. Sang pria tidak sadarkan diri dengan wajah yang babak belur, dan beberapa anggota tubuh yang patah di sana-sini. Sedangkan kedua Nitenoid yang menemaninya tidak sadarkan diri dengan armor yang hancur berkeping-keping dan nyaris tidak bersisa.

“I-Inikah kekuatan komandan kita yang sebenarnya. . .?”

“Ini benar-benar menyeramkan. . .”

“Aku tidak pernah melihat yang seperti ini sebelumnya.”

“Mulai sekarang kita semua harus berhati-hati dengan komandan baru kita itu.”

“Ya, nampaknya aku tidak ada pilihan lain selain setuju.”

“Aku juga nampaknya begitu.”


***


Kedatangan pesawat misterius yang membawa sekumpulan pasukan di dalamnya itu ternyata menarik perhatian dua orang yang kemudian muncul di luar pesawat.

“Kau yakin benar itu pesawatnya?”

“Tentu saja, radar yang kuciptakan tidak akan pernah salah. Lagipula, tidak ada pesawat lain kan di sekitar sini?”

“Benar juga sih, pesawat di depan ini memang bukan seperti pesawat pada umumnya yang ada di zaman sekarang.”

“Benar kan? Kalau begitu lebih baik kita periksa sebenarnya apa tujuan mereka mendarat di tempat ini.”
“Hm! Kita harus segera pastikan apa mereka datang sebagai kawan atau lawan.”

Kedua orang itu yang tidak lain adalah Hakase dan Reika berjalan hingga ke depan pesawat dan mereka memanggil awak pesawat misterius tersebut.

Sang awak dengan segera langsung pergi melapor tentang kunjungan kedua orang itu kepada sang komandan. “Lapor komandan! Kita kedatangan dua orang tamu dari masa sekarang!” Ujarnya melapor.

“Ternyata ada juga ya yang bisa mendeteksi kedatangan kita ke masa ini? Kupikir tidak akan ada tekhnologi manusia di zaman ini yang bisa mendeteksinya.” Komentar sang komandan santai.

“Maaf mengomentari ucapan anda, komandan, tapi saya rasa salah satu dari mereka berasal dari masa kita. Dia nampak seperti seorang Nekonoid.”

“Hooo. . . Jadi ada kucing liar yang lepas juga di masa ini? Menarik, aku akan segera keluar dan mengucapkan salam kepada mereka berdua.”

Sang komandan bernama WM itu pun kemudian pergi keluar dan menemui Hakase serta Reika yang telah menunggunya. Dia langsung tersenyum penuh misteri ketika bertemu dengan dua wajah yang baru pertama kali dilihatnya itu.

“Jadi kau yang menjadi penanggungjawab pesawat ini?” Tanya Reika tanpa berbasa-basi.

WM menuruni tangga dari pesawat dan berjalan ke hadapan Reika dan Hakase. “Ya, begitulah. Aku adalah komandan yang menjadi pemimpin para awak di dalam pesawat ini. Namaku WM, salam kenal.” Jawabnya seraya memperkenalkan diri.

“Apa yang kau inginkan dengan mendarat di tempat ini. . . dan di masa ini?” Tanya Reika lagi.

WM tertawa kecil, “Tunggu dulu, tunggu dulu. Apa itu tidak sopan namanya ketika seseorang memperkenalkan dirinya tapi tak mendapat balasan apapun?”

“Jangan terlalu terbawa perasaan, aku kesini bukan untuk berkenal ,-“

Hakase menahan Reika agar tidak meneruskan perkataannya.

“Kenapa kau menahanku, Hakase?” Tanya Reika kesal.

“Kita kesini bukan untuk mencari keributan, tapi hanya untuk mencari info, ingat?” Hakase menjawab dengan berbisik-bisik.

“Cih, aku tahu itu, tapi dia benar-benar menyebalkan!”

“Aku juga tahu itu, tapi ini orang ini nampaknya berbahaya dan kita harus mendekatinya secara hati-hati atau kita sendiri bisa dalam bahaya besar.”

“Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang?”

“Biar aku yang melanjutkan pembicaraan ini.”

Reika pun akhirnya mengalah dan membiarkan Hakase yang berbicara dengan WM untuk menggali informasi tentang kedatangannya beserta para pasukannya.

“Maaf soal ketidaksopannya tadi, sebelumnya aku ingin memperkenalkan diri. Aku biasa dipanggil Hakase, dan dia adalah Reika-san.” Kata Hakase memperkenalkan dirinya.

“Hakase dan Reika-san, ya? Jadi apa yang ingin kalian tanyakan tadi?” WM membalas dengan mengajukan pertanyaan.

“Aku dan Reika-san hanya ingin tahu maksud kedatanganmu dan para pasukanmu yang kau bawa dengan pesawat di depan kita ini. Asal kau tahu, mendaratkan pesawat di sini tanpa izin sama dengan pelanggaran apalagi kau bukan dari masa ini.” Jelas Hakase tanpa berbelit-belit.

WM kembali tertawa kecil, “Jadi kalian memang benar-benar tahu kalau aku dan pasukanku bukan berasal dari masa ini ya? Benar-benar menarik, hahaha!”

“Daripada itu lebih baik kau segera jelaskan. Aku bisa saja mengusirmu dari sini, tapi itu tergantung dari jawaban yang kau berikan.” Hakase menaikkan nada bicaranya.

WM berbalik badan dan kembali meniti tangga naik menuju ke dalam pesawatnya, “Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan itu semua kepada kalian karena kalian tidak punya nilai apa-apa di hadapanku. Sampai jumpa.” Katanya tanpa membalikan badannya.

Reika kembali terpancing emosinya dan dia segera melompar ke arah WM dengan posisi siap menyerang.
“Jangan bicara sok keren begitu!” Serunya sambil memperlihatkan cakar-cakar di jari tangannya.

“Reika-san! Kau jangan bertindak berlebihan seperti itu!” Seru Hakase berusaha mencegah tindakan Reika, tapi sayang itu sudah terlambat. Reika telah dikuasai emosinya dan dia sendiri telah bersiap untuk menyerang WM.

DOOM!

Tangga pesawat hancur berantakan akibat serangan Reika yang begitu besar tekanannya.

“Bagaimana? Apa kau sudah belajar untuk tidak berbuat sok kere-n-?”

Reika terkejut ketika WM tersenyum kepadanya tanpa sedikit pun luka di sekujur tubuhnya. Dia berhasil menghindari serangan Reika hanya dalam sekejap saja dengan begitu mudah.

“Ba-Bagaimana kau bisa menghindari seranganku yang secepat itu?” Tanya Reika tidak percaya serangannya meleset.

“Sudah kubilang kan? Kalian tidak ada nilainya di hadapanku, dan lagi aku kesini bukanlah untuk bertemu dengan kalian.” Jawab WM menyombongkan dirinya. Dia kemudian melompat naik menuju pintu masuk pesawatnya, dan sekali lagi dia menatap ke arah Reika dan Hakase yang masih terheran-heran.

“Kukatakan satu hal kepada kalian, Nekonoid atau apapun bentuknya tidak akan bisa melawanku. Aku adalah pria yang sudah melewati semua itu dan menjadi komandan di pesawat ini.” Katanya seraya kemudian menghilang dari pandangan kedua orang di luar pesawat itu bersamaan dengan ditutupnya pintu pesawat.

Pesawat itu pun lepas landas dan meninggalkan bukit itu. Kedua orang yang masih berada di sana hanya dapat menatap kepergian pesawat itu dengan tatapan tidak percaya.

“Re-Reika-san? Apa kau tidak apa-apa?” Tanya Hakase cemas.

“A-Aku tidak percaya semua ini. Aku dikalahkan oleh seorang manusia biasa. . . Kecepatanku dapat dikalahkan oleh seorang manusia biasa. Sebenarnya siapa orang barusan?” Reika bertanya-tanya sendiri mengenai identitas orang yang baru mengalahkannya itu.


***


Aku benar-benar tidak mengerti apa yang sekarang aku lakukan di tempat ini sekarang.

Kalau kalian bertanya kenapa aku berkata seperti itu? Mungkin kalian perlu tahu bahwa sekarang aku dan Makoto ada di dalam sebuah gedung aneh dan kami harus memindahkan alat-alat milik Mimi yang kami pakai di klub.

“Aaaah. . . Kenapa kita para pria yang harus mengerjakan pekerjaan berat seperti ini?” Keluhku.

“Yooo! Sudahlah, Mikan, tidak ada gunanya kalau kau terus mengeluh seperti itu. Para pria memang harus giat bekerja kan? Karena itulah kita disebut sebagai pria!” Sahut Makoto yang terlihat lebih bersemangat ketimbang diriku.

Aku hanya bisa menghembuskan napas panjang menanggapi ucapan Makoto. Apa yang dikatakannya memang benar, tapi dengan melakukan ini aku jadi sama sekali tidak memiliki waktu untuk beristirahat seperti biasanya.

Bermalas-malasan dan terus berada di rumah. Ya, biasa itu yang aku lakukan sebelum Mimi datang ke masa ini. Setelah kedatangannya, di kehidupanku terus bermunculan orang-orang aneh yang membuat hidupku menjadi ramai dan kadang malah kacau.

“Padahal aku berpikir kalau Falcon bisa membantuku di saat-saat seperti ini. . .” Keluhku lagi.

“Yooo! Apa boleh buat kan? Dia harus kembali ke tempatnya untuk sementara waktu.” Ujar Makoto mengingatkanku alasan Falcon pergi untuk beberapa waktu ke depan.

Kembali ke beberapa hari ke belakang, saat itu aku dan yang lainnya sedang berada di ruangan klub ketika Falcon datang dan berpamitan kepada kami.

“Maaf semuanya, tapi aku harus pergi untuk sementara waktu.” Ucapnya.

“Apa!? Bukannya kau sudah berjanji untuk tidak pergi lagi?” Protesku begitu mendengar ucapannya itu.

“Bukan begitu, Mikan-san. Aku memiliki urusan yang tidak dapat aku tinggalkan, tapi tenang saja karena ini bukan tentang orang-orang jahat seperti yang kemarin kita temui.” Jelasnya kepadaku.

“Kalau begitu apa boleh buat kan? Kita harus membiarkan Falcon melakukan urusannya.” Kata Lavina mencoba meyakinkanku.

Aku sebenarnya saat itu ingin menahan Falcon untuk tidak pergi karena aku tidak mau kalau dia sampai terlibat sesuatu yang aneh lagi dan membuatnya sedih, tapi aku juga tahu bahwa seseorang pasti punya satu-dua urusan yang harus dia selesaikan sendiri.

Akhirnya, dengan berat hati aku membiatkan Falcon pergi untuk beberapa waktu. Kami melepasnya dengan melambaikan tangan dari jendela ruangan klub kami.

“Cepatlah kembali! Kami akan menantikanmu!”

“Hm! Aku pasti akan segera kembali ke sini.”

Begitulah yang dia katakan kepada kami, tapi sejak saat itu dia belum juga kembali.

Sebenarnya aku sedikit cemas karena kepergiannya yang terlalu lama, namun teman-temanku selalu meyakinkan bahwa anak itu akan baik-baik saja. Jadi apa boleh buat, aku pun harus mempercayai apa yang mereka percayai juga.

Dan lagi, sebenarnya yang kubutuhkan sekarang adalah bantuannya untuk memindahkan barang-barang yang harus kami pindahkan ini. Dengan kekuatannya, kami berdua pasti dapat menyelesaikan pekerjaan ini dengan sangat cepat.

Ini juga semua salah Mimi, dia juga pergi di saat-saat penting seperti ini dan meninggalkan tugas berat ini kepada kami. Dia seenaknya saja dengan wajah polos dan membebani kami seperti ini.

Kembali ke dua hari yang lalu, ketika itu aku sedang berkumpul di ruangan bersama dengan semua anggota klub lainnya. Mimi kemudian mengetuk pintu dan masuk ke ruangan, lalu seenaknya dia mengucapkan bahwa dia juga memiliki urusan dan harus pergi sementara waktu sama seperti Falcon.

Gomen ne, Minna-san. Aku harus pergi untuk sementara waktu karena ada urusan yang sangat penting. Oleh karena itu, adakah di antara kalian yang bisa membantu memindahkan alat-alat yang sebelumnya sudah kujanjikan?”

Semua terdiam, tapi tak lama kemudian seluruh anggota perempuan yang lain memasang mata ke arahku dan Makoto. Mereka menunjuk kami tanpa ragu yang akhirnya membuat kami terbebani oleh tugas ini.

Arigatou, Mikan-kun, Makoto-san, kalian sudah mau membantuku.” Kata Mimi berterima kasih.

“Tidak perlu berterima kasih.” Balasku sambil tersenyum meski dalam hati sebenarnya ingin menolak permintaan tersebut.

“Yooo! Itu tidak masalah! Demi kau, aku rela melakukan apa saja, Mimi-chan!” Sambung Makoto dengan begitu bersemangat.

Ketika di perjalanan pulang, aku bertanya tentang maksud kepergiannya yang begitu mendadak.

“Sebenarnya kau ingin kemana, Mimi-chan?” Tanyaku.

“Hmm. . . Aku tidak bisa mengatakannya sekarang, Ojii-chan, yang pasti ini ada hubungannya dengan masa depan.” Jawabnya penuh misteri.

“Heee. . . Ayolah, jangan buat aku penasaran seperti itu.” Kataku sedikit memaksa.

“Sudahlah, Ojii-chan. Kalau sudah saatnya nanti kau pasti akan tahu sendiri.” Mimi bersikeras tidak mau memberitahuku.

Aku pun menyerah dan tidak bertanya lagi. Meskipun dalam hatiku aku masih memiliki rasa penasaran, tapi aku berusaha menahannya paling tidak hingga Mimi kembali nanti.

Begitulah yang terjadi dua hari lalu, dan kini aku bersama Makoto bertugas memindahkan alat-alat milik Mimi di sebuah gedung yang alamatnya diberikan oleh Mimi sebelum dia pergi.

Semua itu memang tidak membuatku protes, hanya saja yang kupertanyakan adalah tempat kami sekarang memindahkan barang-barang yang letaknya sepertinya amat terpencil. Gedung tempatku dan Makoto berada jauh dari keramaian meskipun di sekitar gedung ini juga terdapat beberapa bangunan yang nampak sudah ditinggalkan cukup lama oleh para pemiliknya.

Kami memang tidak diharuskan memindahkan barang-barang ke ruangan klub kami yang terletak di sekolah. Kami hanya diminta Mimi memindahkan barang dari satu tempat ke tempat yang lain, setelah itu alat Mimi yang lain yang entah apa namanya membawa barang-barang tersebut ke tempat tujuan akhir.

Sudah cukup lama kami berdua melakukan ini, tapi barang-barang milik Mimi nampak tidak pernah berkurang. Semua itu cukup untuk membuatku kembali menghembuskan sebuah desahan panjang.
“Haaaaah, apa ini tidak akan pernah berakhir?” Keluhku.

Aku mengambil istirahat sejenak dari pekerjaan berat ini dan duduk di salah satu kotak besar yang tak terpakai di luar gedung. Kuminum sekaleng jus yang memang telah kupersiapkan sebelumnya untuk saat-saat seperti ini.

“Yo! Makoto! Aku akan beristirahat sebentar, kau lanjutkan saja pekerjaanmu!”

“Yooo! Aku mengerti! Orang yang suka bermalas-malasan sepertimu memang tidak cocok untuk bekerja seperti ini, jadi serahkan saja padaku.”

“Kau ini. . . Tidak perlu mengatakan aku ini seorang pemalas kan!?”

“Yooo! Tapi itu memang kenyataan kan? Hahahaha!”

“Terserah kau saja, aku mau istirahat beberapa saat.”

“Yooo! Selamat istirahat dan hati-hati terkena masalah.”

“Memangnya masalah apa yang bisa terjadi di sini, hah?”

“Yooooo! Sudahlah, aku akan lanjutkan pekerjaan.”

Makoto kemudian pergi dari hadapanku dan melanjutkan pekerjaan kami, sementara itu aku kembali melanjutkan istirahatku sembari menghabiskan kaleng jus di tanganku.

“Dasar si Makoto itu, memangnya apa yang bisa terjadi di sini?” Kataku menggerutu.

Kupalingkan kepalaku ke kiri dan ke kanan sambil meneguk minumanku.

Tempat ini memang sangat sepi dan kelihatannya tidak ada siapapun selain kami yang berada di sini. Beruntung bagi kami tidak ada yang melihat kami melakukan pekerjaan aneh ini.

Ketika aku tengah memalingkan wajahku ke arah salah satu gedung kosong, tiba-tiba muncul cahaya yang menyilaukan dari dalamnya.

“Cahaya apa itu?” Tanyaku penasaran.

Aku segera turun dan berlari ke dalam gedung tersebut tanpa pikir panjang lagi, entah kenapa rasa penasaranku kali ini mengalahkan rasa malasku.

“Cahaya itu. . . Datang dari kotak itu.”

Sebuah kotak yang atasnya terbuka menjadi sumber cahaya terang itu, dan nampaknya itu bukanlah sebuah kotak biasa.

Aku melangkah mendekati kotak itu, tapi setibanya di sana ternyata bukan kotak itu yang memancarkan cahaya melainkan sebuah plat datar berbentuk persegi di bawah kotak itu yang memancarkan cahaya tersebut.

“Apa ini sebenarnya?” Tanyaku bingung sambil mengangkat kotak di depanku itu agar aku dapat melihat plat di bawahnya dengan jelas.

ZUUUUUW!

Plat itu kali ini mengeluarkan cahaya yang sangat terang hingga membutakan mata. Aku pun menutup mataku sejenak akibat silau dengan cahaya tersebut, dan ketika aku membuka mata ternyata aku telah berada di sebuah ruangan yang lain.

“Di mana ini? Kenapa aku bisa berpindah tempat?”

Samar-samar aku kemudian mendengar beberapa suara yang nampak sedang dalam sebuah perbincangan serius.

“Kita harus segera melaksanakan rencana kita atau kita harus kembali ke asal kita!” Ujar suara pertama.

“Tapi Aniki, kita masih harus melakukan beberapa hal terutama dengan kedatangan para pasukan yang menyebut dirinya pembela kebenaran itu.” Ujar suara kedua menolak usul suara pertama dengan halus.

“Yang pasti kita harus berhasil menguasai waktu ini agar saat kita kembali ke masa kita, kita bisa menjadi kakak beradik yang menguasai kota!” Kata suara pertama dengan begitu ambisius.

“Tentu saja Aniki, kita pasti bisa merebut kota ini di masa sekarang maupun di masa depan! Semua yang mengganggu kita, semuanya harus dibereskan setelah semuanya siap!” Kata suara kedua kali ini mendukung suara pertama.

“Tu-Tunggu dulu! Menguasai kota di masa sekarang dan di masa depan? Apa maksudnya semua itu? Apa itu berarti mereka juga datang dari masa depan sama seperti Mimi-chan dan Reika-san? Aku sama sekali tidak mengerti!”

“Aku tidak peduli mereka mau apa di kota ini, tapi yang pasti kalau terus berada di sini aku pasti akan terperangkap bahaya, aku harus segera kabur!”

Aku merangkak perlahan-lahan dengan tetap mendekap kotak yang kutemukan itu.

Aku terus berusaha kabur dari tempat menyeramkan ini dengan tidak mengeluarkan suara sama sekali, namun tiba-tiba tanpa kusadari ternyata kakiku menghantam salah satu kotak-kotak kosong yang tersusun dan menjadi tempat persembunyianku.

BRUAK!

Kotak-kotak kayu itu berjatuhan satu persatu dan akhirnya memperlihatkan diriku yang tengah merangkak mencoba untuk kabur.

Semua orang di sana yang rata-rata bertampang seram dan berbadan kekar langsung melihatku dengan tatapan kaget. Namun, semua itu hanya sesaat saja karena setelah itu mereka menatapku dengan pandangan tidak suka.

“Penyusup! Cepat tangkap dia!” Perintah si pemilik suara pertama.

“Baik, Aniki!” Seru semua anak buahnya yang kemudian mulai mengejarku.

Tanpa pikir panjang lagi aku segera berlari keluar dari ruangan tersebut dengan langkah yang terburu-buru. Tiba-tiba saat pelarianku itu, sebuah suara yang sangat kukenal terdengar olehku dengan sangat jelas.

“Ojii-chan! Ojii-chan! Kau ada di sana?”

“Mimi-chan! Kau kah itu? Di mana kau sekarang? Aku sedang ada dalam masalah!”

“Aku berkomunikasi dengan alat yang ada dalam kotak yang pegang sekarang.”

Aku segera mengecek isi kotak tersebut dan benar saja, salah satu dari benda-benda di kotak itu adalah sebuah alat yang berlayar lebar untuk berkomunikasi. Dari layar tersebut, aku dapat melihat wajah Mimi dengan snagat jelas.

“Apa yang sebenarnya telah terjadi di sini, Mimi-chan?”

“Nampaknya kau telah berpindah dengan Telepo-Telepo milikku yang masih belum selesai.”

“Apa pula benda aneh bernama Telepo-Telepo itu? Kenapa aku bisa berpindah dengan itu?”

Telepo-Telepo adalah alat yang kubuat untuk menteleportasikan sesuatu atau seseorang ke sebuah tempat yang dituju, tapi karena alat itu masih belum selesai jadi dia belum bisa memindahkan ke tempat yang diinginkan, singkatnya dia hanya memindahkan Ojii-chan secara acak.” Jelas Mimi dengan wajah yang merasa bersalah.

“Heee. . . Benar-benar alat yang sangat hebat, tapi bagaimana sekarang aku kembali!? Aku sekarang dikejar oleh kumpulan orang-orang jahat!” Keluhku sambil mengomel.

“Tenang saja, di kotak yang Ojii-chan pegang kalau tidak salah aku menaruh beberapa alat, mungkin itu bisa digunakan untuk melawan mereka.” Kata Mimi membuatku sedikit merasa tenang.

Aku mencoba mengeluarkan satu persatu alat dari kotak itu, dan kemudian kutemukan Gun-Gun yang sudah cukup familiar. Akhirnya kuputuskan untuk menggunakan alat itu, minimal untuk menakut-nakuti orang-orang yang mengejarku itu.

“Rasakan ini! Gun-Gun, Fire!” Seruku membuat orang-orang itu terkejut. Namun, tak ada apapun yang terjadi melainkan hanya asap yang keluar dari mulut senjata di tanganku itu.

Orang-orang yang mengejarku itu merasa dipermainkan dan semakin marah, dan mereka pun mengejarku dengan semangat yang lebih membara.

“Dasar tidak berguna! Aku harus mencoba alat yang lain!”

Kuambil sebuah alat yang sepertinya bisa kugunakan untuk melawan mereka. Ya, aku mengambil excali-excali. Meskipun kelihatan berbahaya untuk menggunakannya, tapi kali ini aku tidak punya pilihan lain lagi.

“Matilah kalian dengan ini!” Seruku lagi sembari mengayunkan pedang di tanganku itu.

Excali-excali mengenai salah seorang dari mereka.

Awalnya, kukira orang itu akan terbelah menjadi dua bagian, tapi kemudian hal yang lain justru terjadi. Orang yang kusentuh dengan excali-excali justru tersengat oleh arus listrik yang bertegangan tinggi.

ZZZZRRT! ZZZZRRT!

“Rasanya ini bagus! Aku bisa melawan mereka kalau dengan ini meskipun tidak bisa untuk memotong.”

“Oh iya Ojii-chan, kuperingatkan saja, kalau kau menggunakan excali-excali dia memang akan menyetrum seseorang tapi setelah itu dia akan memberikan sengatan listrik kepada pemiliknya juga.” Kata Mimi memberiku peringatan.

Namun peringatan itu nampaknya sudah terlambat, sesaat kemudian aku juga tersengat oleh senjata dalam genggamanku itu.

ZZZZRRRT! ZZZZZRRRT!

“Kalau kau meletakkan benda berbahaya seperti ini kau harusnya bilang dari awaaaaal!”

“Maafkan aku Ojii-chan, aku lupa memberitahumu kalau di sana memang banyak alat gagal.”

“Bilang dari awal kalau begitu! Jadinya kalau begini aku tetap saja tidak bisa melawan mereka.”

“Ah! Tapi masih ada satu alat yang bisa Ojii-chan gunakan untuk melawan mereka!”

“Alat macam apa? Bukan salah satu alatmu yang gagal lagi kan, Mimi-chan?”

“Tentu saja bukan! Alat ini. . . Kalau tidak salah. . . Kacamata!”

Aku terdiam sejenak membuat orang-orang yang mengejarku sempat kebingungan dengan tindakanku itu. Aku menarik napas dalam-dalam dan menatap ke layar yang menghubungkanku dengan Mimi yang berada entah di mana.

“Ini keadaan darurat! Mana mungkin aku bisa melawan mereka dengan itu!” Seruku dengan suara keras ke arah layar. Orang-orang yang mengejarku hanya melongo melihat sikapku yang tiba-tiba berubah aneh.

“Te-Tenang saja, aku mengatakan hal yang sejujurnya kok, kau bisa menang dengan menggunakan kacamata itu.” Ujar Mimi berusaha menenangkanku.

“Benarkah?” Tanyaku masih belum yakin.

“Kali ini kau bisa mempercayaiku, Ojii-chan!” Jawab Mimi dengan mantap.

Setelah aku mendengar itu, aku merasa tidak punya pilihan lain selain percaya kepada keluargaku dari masa depan itu. Aku segera mencari benda yang dimaksud, dan setelah kudapatkan aku segera memakainya.

“Hahahaha! Apa kau pikir dengan menggunakan kacamata itu dapat membuatmu lebih keren dan lebih kuat?” Ledek salah seorang dari mereka yang mengejarku.

“Dia pasti berpikir untuk tampil lebih keren di saat-saat terakhirnya, hahahaha!” Ledek orang yang lain.

Mereka semua menghinaku dan meledekku karena aku mengenakan kacamata hitam ini. Aku sendiri bahkan belum yakin apa kekuatan yang dimiliki oleh alat milik Mimi yang satu ini.

“Aku tidak peduli kalian meledekku atau apa, tapi yang pasti kali ini aku akan mengalahkan kalian semua!” Ujarku dengan penuh percaya diri.

“Kalian dengar itu? Dia ingin mengalahkan kita! Hahahaha!” Komentar salah satu dari mereka melecehkan.

“Benar! Dia pasti sangat bodoh ingin mengalahkan kita semua! Hahaha!” Sambut yang lain dengan tawa meremehkan.

“Hei, Mimi-chan! Apa sebenarnya kekuatan benda ini?”

“Tekan saja tombol yang ada di bagian sebelah kanan, kau pasti akan tahu.”

Aku langsung menuruti kata-kata Mimi dan menekan tombol di bagian sebelah kanan kacamata yang kupakai. Bersamaan dengan itu, kemudian orang-orang di hadapanku itu bertingkah seperti orang yang silau oleh cahaya yang sangat terang.

“A-Apa yang sebenarnya terjadi dengan mereka semua?” Tanyaku heran.

“Biar kujelaskan. Glass-Glass yang Ojii-chan pakai adalah sebuah alat yang dapat menyerap cahaya di sekelilingnya lalu menembakkannya ke sekitar tempat si pemakai berada sehingga orang-orang di sekitarnya akan merasa silau sementara si pemakai justru merasa situasi di luar menjadi semakin gelap, begitulah kira-kira fungsi dari Glass-Glass.” Jelas Mimi mengenai alatnya secara detail.

“Heee. . . Hebat juga alat ini. . . Tapi ini bukan saatnya untuk kagum! Aku harus segera lari dari tempat ini sekarang juga! Tapi bagaimana caranya? Mimi-chan kau tahu kan caranya?”

“Mudaaaah, tinggal kembali ke tempat awal Ojii-chan muncul, kau pasti akan kembali berpindah ke tempat asal.”

“Baiklah kalau begitu! Dengan alat ini aku tidak akan takut lagi!”

Aku kemudian berlari meninggalkan orang-orang yang masih merasa silau akibat alat yang kupakai. Aku berlari masuk kembali ke ruangan tempat aku pertama muncul.

Kulihat ke sekeliling, beruntung, dua orang pemilik suara yang kudengar saat pertama kali muncul sedang tidak ada, dengan begini aku dapat kembali dengan tenang.

Kujejakkan kakiku ke plat yang telah membuatku berpindah, dan sekali lagi plat itu bersinar sangat terang hingga aku terpaksa memejamkan kedua mataku. Ketika aku membuka mata, aku telah kembali ke tempatku semula di mana aku mengerjakan pekerjaan aneh dari Mimi.

“Aku harus segera kembali bekerja atau Makoto pasti akan curiga padaku!”

Dengan begitu, aku berhasil lolos dari bahaya dan kembali melanjutkan pekerjaanku memindahkan alat-alat milik Mimi bersama Makoto.

Sementara itu di tempatku muncul sebelumnya, orang yang dipanggil Aniki oleh semua orang yang ada di sana menemukan plat yang kugunakan untuk berteleportasi.

“Jadi dia bisa menggunakan teleportasi melalui alat ini ya? Ini bisa berguna.” Katanya sambil menyunggingkan senyuman licik penuh misteri.


***


Beberapa hari kemudian di sekolah, kami semua para siswa belajar seperti biasanya dan tidak akan menyangka akan kedatangan tamu yang tak diundang.

“Jadi untuk menyelesaikan soal yang satu ini. . .”

“Yo! Kau sedang memikirkan apa, Mikan?” Tanya Makoto mengagetkanku.

“Jangan mengagetkanku seperti itu! Aku cuma sedang melihat langit.” Jawabku membuat Makoto semakin penasaran saja.

“Yo! Melihat langit? Memangnya ada apa dengan langit?” Tanyanya lagi.

“Seseorang mungkin akan datang ke sekolah kita dari langit.” Jawabku setengah bercanda.

“Yo! Apa mungkin itu akan terjadi?” Makoto percaya kata-kataku dan menelannya bulat-bulat.

Anooo. . . Makoto-kun? Mikan-kun? Bisakah kalian mengikuti pelajaran dengan. . . lebih. . . se-serius?” Kata-kata dari pak guru menjadi terbata-bata ketika dia menatap keluar tepatnya ke arah langit di halaman sekolah.

Kami semua para siswa pun penasaran dan akhirnya ikut melihat ke arah yang sama. Di sana kami dibuat terkejut bukan main karena dari sana entah dari mana muncul sebuah pesawat aneh yang nampaknya akan mendarat di halaman sekolah.

“Y-Yooo! Sepertinya kau benar tentang seseorang yang datang dari langit.”

“Mana mungkin!? Tadi aku cuma bercanda saja! Mereka pasti. . .”

“Yooo! Pasti apa?”

“Ti-Tidak, bukan apa-apa kok.”

Aku langsung memperhatikan seluruh siswa dan benar saja, Mimi adalah salah satu siswa yang menatap kedatangan pesawat misterius itu dengan tatapan serius dan nampaknya dia tidak suka dengan kedatangan pesawat itu kemari.

Melihat reaksi Mimi itu, tubuhku entah mengapa terasa bergerak sendiri untuk berlari keluar menuju halaman sekolah tempat pesawat itu mendarat. Akhirnya, dengan berusaha tidak disadari oleh para siswa yang lain aku pun melangkah perlahan keluar dari ruangan kelas.

Setelah berhasil keluar, aku segera berlari dengan kecepatan penuh menuju ke halaman sekolah. Namun, baru saja aku sampai di depan pintu keluar gedung sekolah, aku melihat di sana sudah ada seorang siswa yang menyambut kedatangan para tamu tak diundang itu.

Ya, siswa pemberani itu adalah ketua OSIS kami, Hazuki Wataru.

Dia dengan gagah berani sembari menggenggam pedang kayu kesayangannya menghadapi langsung para tamu tak diundang itu tanpa gemetar sedikitpun.

“Siapa yang bertanggungjawab atas pendaratan benda ini!? Cepat keluar!” Perintahnya dengan suara tegas tanpa ada rasa  takut sedikitpun.

PIntu pesawat bagian depan pun terbuka, dan seorang lelaki muda berjalan sambil tersenyum misterius. Setelah tiba di hadapan Hazuki-senpai, dia terdiam dan nampak memperhatikan Hazuki-senpai sejenak baru kemudian angkat bicara.

“Akulah yang bertanggungjawab atas semua ini, jadi apa maumu?” Kata lelaki itu bernada menantang.

Hazuki-senpai nampak tak bisa menerima kata-kata lelaki itu dan bersiap mengayunkan pedang kayunya, tapi dengan sigap Masamune-senpai muncul dan mencegah tindakannya itu.

“Kenapa kau menghentikan gerakanku, Han-chan?” Tanya Hazuki-senpai yang merasa heran.

“Meskipun kau kuat dan mungkin tidak ada tandingannya di sekolah ini, tapi kau tetap tidak akan bisa menang melawan orang ini.” Jelas Masamune-senpai dengan wajah yang sangat serius.

Hazuki-senpai tercengang mendengar ucapan Masamune-senpai tersebut seraya kemudian menurunkan pedang kayunya dan mengurungkan niatnya untuk menebas lelaki yang menantang dan ada di hadapannya itu.

“Ini baru pertama kalinya kau terlihat sangat serius seperti ini.”

“Aku hanya merasakan bahaya kalau kita terlibat jauh dengan orang ini.”

“Kalau kau bilang begitu justru ini akan jadi semakin menarik.”

“Ingat, target kita adalah Mimi Kyoretsu. Orang di hadapan kita ini mungkin ada hubungan dengannya, tapi kita tidak boleh bertindak gegabah seperti melawannya karena kita masih belum tahu siapa sebenarnya dia ini.”

“Ah, aku mengerti apa yang kau maksud, Han-chan. Tapi tetap saja dia benar-benar membuatku sangat kesal.”

“Sudahlah, tahan saja kekesalanmu kali ini, kita ,-“

“Hiaaaaaaaaaaaaaaaaah!”

Aku menyela perbincangan kedua senpaiku itu dengan sebuah serangan langsung menuju lelaki yang menyunggingkan senyum misterius itu. Aku tidak peduli lagi dengan apa yang akan terjadi selanjutnya, karena entah kenapa lelaki ini telah membuatku menjadi kesal.

“Sial! Aku tidak bisa menghentikan gerakannya! Dia pasti terluka!”

GREP!

Sesaat sebelum tanganku mencapai wajah lelaki itu, Mimi tiba-tiba muncul entah dari mana dan menahan gerakanku. Dia kemudian melemparkan pandangan tidak suka ke arah lelaki itu, lalu kembali memandang ke arahku.

“Mikan-kun, kau tidak perlu terlibat dengan pria ini, dia adalah urusanku.” Kata Mimi dengan raut wajah serius yang baru pertama kali kulihat. Dia berbeda sekali dengan Mimi yang biasanya polos yang aku kenal, aku seperti tidak mengenalinya lagi untuk sesaat.

“Oh, jadi kau sendiri yang pergi untuk menemuiku, Mimi. . . chan.”

“Jangan panggil aku dengan nama itu lagi!”

“Ah, sekarang kau jadi sangat pemarah, berbeda sekali dengan kau yang dulu.”

“Aku hanya menjadi sedikit terbawa emosi karena kedatanganmu kesini, hanya itu saja.”

“Hahaha! Aku sangat menghargai perasaanmu itu kalau begitu, Mimi. . . chan.”

“Sudah kubilang kan jangan panggil aku dengan nama itu lagi! Lagipula apa perlumu di tempat ini sekarang? Apa kau datang untuk menjemputku?”

“Tidak usah cemas. Aku kali ini datang bukan dengan tujuan seperti itu. Aku hanya sedang mengejar buronan kelas satu yang kabarnya kabur ke tempat ini sekarang.”

Perbincangan antara Mimi dan lelaki misterius itu menunjukkan bahwa di masa lalu mereka saling mengenal dan mungkin sangat akrab. Tapi, apa hubungan mereka sebenarnya? Kenapa Mimi tidak suka dengan kedatangan lelaki ini? Dan apa pula maksudnya dengan “menjemput”?

“Kita harus segera menyingkir dari sini, Mikan-kun.” Ujar Masamune-senpai.

“Tapi Mimi masih di sana dan berbicara dengan orang itu!” Tolakku enggan meninggalkan Mimi.

“Hooo. . . Jadi dia yang bernama Mikan Kyoretsu? Aku rasa aku bisa mengerti kenapa kau terus mengejarnya selama ini.”

“Diamlah, WM! Jangan berbicara lebih jauh lagi tentang hal itu!”

“Baiklah, baiklah, lagipula aku hanya ingin mengucapkan salam kepadamu saja, Mimi-chan.”

“Sudah kubilang kau untuk diam kan, WM!?”

“Kita pergi dari sini, Mikan-kun, Hazuki-chan.” Masamune-senpai menyeretku paksa pergi dari tengah halaman sekolah menuju ke tempat yang lebih aman. Aku sebenarnya enggan meninggalkan Mimi di sana sendirian, tapi aku juga tidak bisa menolak perintah dari para senpaiku ini.

“Kalau begitu, jaga dirimu baik-baik, dan satu lagi. . .” Lelaki itu kemudian berteriak ke arahku, “Untukmu Mikan Kyoretsu, jaga Mimi sampai aku kembali. . . untuk menjemputnya.”

“Apa maksudmu itu!? Tentu saja aku akan menjaga Mimi darimu agar dia tetap berada di sini, di sekeliling kami semua, teman-temannya.” Balasku berteriak kepadanya.

“Kau dengar itu Mimi-chan? Dia bilang akan melindungimu. Aku ragu dengan kekuatan seperti itu dia akan bisa melindungimu dari marabahaya.”

“Kau. . .! Dia selama ini berhasil melawan segala hal yang menjadi halangan baginya! Jadi jangan sekali-kali meremehkannya!”

“ Baiklah, baiklah, aku mengerti, tapi aku tidak akan bisa menjamin keselamatannya jika dia berani berhadapan denganku suatu hari nanti.”

Lelaki misterius yang dipanggil WM itu kemudian berjalan masuk kembali ke dalam pesawatnya. Dia sempat sekali lagi menyunggingkan senyum misteriusnya ke arah Mimi dan juga ke arahku, entah apa maksudnya. Yang pasti, bisa kupastikan bahwa dia adalah musuhku, entah dalam waktu dekat atau dalam kurun waktu yang masih jauh dari sekarang.

“Nampaknya dia memang memiliki hubungan dengan Mimi Kyoretsu, Han-chan.”

“Ya, dan sepertinya mereka menyimpan suatu rahasia besar dari kita semua.”

“Benar, kita harus semakin sering mengawasinya agar tidak terjadi hal yang di luar keinginan.”

“Maaf, apa kalian berdua membicarakan sesuatu tentang Mimi-chan?”

“Ah, tidak ada apa-apa kok! Kami hanya bingung dengan hubungan mereka berdua karena mereka kelihatannya sangat akrab, ya kan Hazuki-chan?”

“Tentu saja! Kami tidak ingin melakukan apapun dengan Mimi Kyoretsu itu, hahahaha!”

“Baiklah, aku mengerti, tapi Hazuki-senpai, bisakah kau menurunkan pedang kayumu dari leherku?”

“Ah maafkan aku, aku jadi sedikit terbawa perasaan, hahahaha.”

Mereka berdua benar-benar bertingkah sangat aneh. Mereka berdua juga pasti memiliki suatu niat terhadap Mimi, aku harus lebih berhati-hati mulai dari sekarang kalau ingin melindunginya.


***


Kejadian tadi membuatku menjadi tidak tenang. Aku pun memutuskan untuk menghabiskan waktu makan siangku dengan melamun di atap sekolah sembari memandangi langit biru. Aku benar-benar ingin menenangkan diriku atas apa yang terjadi sekaligus memikirkan apa yang akan kulakukan selanjutnya.

PLUK!

Sebungkus roti yang baru saja dibeli dari kantin mendarat di atas perutku. Aku mendongak untuk melihat sang orang baik hati yang telah memberikannya kepadaku, dan ternyata dia adalah Lavina.

“Cepat makan roti itu, aku tahu sedari tadi perutmu belum kau ganjal dengan apapun.” Katanya seraya mengambil tempat duduk di sampingku.

Aku berganti posisi dari berbaring menjadi duduk, lalu membuka dan mulai memakan roti pemberian Lavina tersebut.

“Apa yang membuatmu kesini? Aku ingin sendirian saja, jadi sebaiknya kau cepat kembali saja ke kelas.” Kataku yang ingin menyendiri untuk menenangkan diri.

“Kau terlalu memaksakan dirimu akhir-akhir ini, Mi-chan.”

“Apa yang kau maksud dengan memaksakan diri itu? Aku baik-baik saja.”

“Kau mungkin bisa berkata begitu, tapi aku sebagai temanmu dapat melihat semuanya.”

“Benarkah? Kalau begitu kau juga mengerti kalau aku juga harus melindungi Mi ,-“

Belum selesai aku berbicara, Lavina membekap mulutku dengan telapak tangannya agar aku berhenti melanjutkan kata-kataku.

“Kau sudah bertindak terlalu jauh hanya untuk Mimi.”

Aku menepis tangan Lavina dan membalas ucapannya itu.

“Buaah! Tapi dia tetap keluargaku! Aku akan tetap melindunginya!”

“Begitu ya, tapi kita juga tetap teman kan?”

“Tentu saja! Keluarga dan teman, keduanya sangat penting bagiku sekalipun aku memang hanya seorang pemuda pemalas yang tidak bisa diandalkan.”

“Kalau begitu kau bisa berjanji satu hal kepadaku kan, Mi-chan?”

“Berjanji? Tentang apa, Lavina?”

“Berjanjilah untuk tidak bertindak berlebihan dan memaksakan dirimu lagi.”

Aku terdiam sejenak tak bisa menanggapi permintaan Lavina itu dan membisu dalam kebingungan. Di satu sisi, aku memang tidak ingin lagi bertindak berlebihan dan membahayakan teman-temanku, namun di sisi lain aku juga tidak tahu apa yang terjadi dan apa yang akan kulakukan saat itu.

“B-Baiklah, aku berjanji padamu untuk tidak bertindak berlebihan lagi.”

“Hm! Kalau begitu kita sudah saling berjanji, ya kan?”

“Tentu saja!”

Kami saling mengaitkan jari kelingking kami sebagai tanda kami telah bertukar janji. Setelah itu, Lavina pamit untuk kembali ke kelas, sedangkan aku kembali bersantai sembari menikmati birunya langit yang cerah yang terbentang luas di atasku ini.

Aku termenung, dan tiba-tiba mataku mulai terpejam sambil mengingat kejadian yang telah kualami akhir-akhir ini, terutama ketika aku berbincang dengan Hakase dan Reika-san ketika aku membawa Falcon ke tempat mereka.


***


“Jadi apa yang ingin kalian bicarakan denganku?” Tanyaku kepada Hakase dan Reika-san.

“Ini tentang Mimi Kyoretsu, saudaramu yang mengaku datang dari masa depan itu.” Jawab Reika-san.

“Ada apa dengan Mimi-chan? Apa kalian berhasil menemukan sesuatu tentangnya?”

“Tidak, kami masih belum menemukan data lebih lanjut tentangnya, tapi Reika-san yang pernah berinteraksi langsung dengannya nampak memiliki sesuatu yang ingin dikatakan kepadamu.”

“Benarkah apa kata Hakase itu, Reika-san?”

“Aku sudah tidak bisa menyembunyikannya lagi, lagipula kau memang berhak mengetahuinya agar tak lagi cemas dengan semua ini.”

“Jadi apa yang sudah kau ketahui tentang Mimi-chan? Beritahu padaku!”

Reika-san berdiri memunggungiku. Dia menyembunyikan wajahnya ketika mulai bercerita pendapatnya tentang Mimi kepadaku.

“Meskipun dia polos, dia tetap memiliki sifat liar sebagai seorang petarung di dalam jiwanya. Dan meskipun kita masih belum tahu tujuan sebenarnya datang kemari dan hubungannya dengan Time Cluster, tapi bisa aku pastikan bahwa dia tidak memiliki tujuan yang jahat walaupun kadang cara yang ditempuhnya mungkin gegabah dan salah.” Jelasnya kemudian kembali berbalik badan menghadapku.

“Jadi maksudmu kau ingin bilang bahwa aku tidak perlu khawatir untuk berada di dekatnya?” Tanyaku meyakinkan.

“Yah bisa dibilang mungkin seperti itulah, tapi tetaplah hati-hati.” Jawab Reika-san membuatku lega. Akhirnya, aku dapat berada bersama Mimi tanpa khawatir dia akan melakukan suatu niat jahat terhadapku, lagipula aku juga telah salah mencurigai salah satu anggota keluargaku sendiri.

“Nah, kalau begitu segera pergi susul dia.” Ujar Hakase sembari menepuk bahuku.

“Baiklah, kalau begitu aku permisi dulu.” Balasku dengan senyuman kecil yang tersungging di bibirku.

Aku kemudian segera berlari menyusul Mimi dan Falcon yang telah lebih dulu keluar. Hakase dan Reika-san hanya tersenyum-senyum saja melihat tingkahku itu.

“Seandainya saja mereka bukan saudara, pasti mereka akan jadi pasangan yang hebat.”

“Sudahlah, jangan mencampuri urusan mereka yang masih muda.”

“Heee. . . Tapi kita juga masih muda kan, Reika-san? Lagipula kau juga berpendapat seperti itu kan tentang mereka berdua?”

“Sudahlah, cepat kembali saja ke meja kerjamu, mungkin saja nanti kita dapat tamu tak terduga lagi seperti kedatangan Nitenoid itu.”

“Haaaaah. . . Baiklah, baiklah, aku akan kembali bekerja sekarang.”


***


Aku memang tidak berdaya.

Aku telah berlatih selama beberapa hari semenjak kedatangan lelaki bernama WM itu, tapi aku sama sekali belum merasakan sebuah kekuatan baru yang mengalir dalam diriku.

Ya, mungkin saja aku telah berubah akhir-akhir ini menjadi seseorang yang berbeda, sama seperti apa yang dikatakan oleh Lavina. Meskipun begitu, aku akan tetap melakukan apa yang ingin kulakukan seperti apa yang aku lakukan selama ini.

Aku selama ini memang hanya bermalas-malasan dan tidak melakukan apapun, tapi itu semua mungkin karena aku telah menunggu saat-saat seperti ini. Saat di mana aku dapat melakukan apapun yang kusuka dengan sepenuh hatiku.

“Haaah. . . Tapi kenapa aku harus membelikan takoyaki untuk Mimi-chan dan Falcon? Bukannya mereka berdua bisa sampai lebih cepat dengan bantuan peralatan mereka? Dasar merepotkan, padahal aku kan ingin bersantai setelah latihan berat.” Keluhku sepanjang jalan menuju kedai takoyaki.

Ya, aku memang sekarang sedang disuruh oleh Mimi untuk membelikan takoyaki untuknya dan Falcon yang mungkin akan segera kembali dalam waktu dekat. Mimi bilang, Falcon mungkin akan lebih bisa bergaul dengan lingkungan kalau dia juga mencoba makanan enak yang ada di sekitar sini. Akhirnya bisa ditebak, aku sekarang tengah dalam perjalanan menuju kedai takoyaki.

“Kalau begitu paman, aku permisi dulu, mereka pasti menunggu takoyaki yang enak ini.” Seorang lelaki keluar dari kedai takoyaki dengan membawa beberapa plastik berisi takoyaki.

Hai, Hai, lain kali kembali ke sini ya, kau memang pelanggan setiaku Nak WM.” Sahut si pemilik kedai dengan ramah melepas pria itu pergi dari kedainya.

“WM katanya!?”

Seorang lelaki berjalan mendekatiku, dan aku mengenali jelas wajahnya. Wajah yang telah membuatku kesal beberapa hari yang lalu, tak akan pernah kulupakan secepat itu.

“Kau. . .! Kenapa ada di sini!?” Tanyaku dengan nada kesal.

“Ah, Mikan-kun. Aku hanya membelikan anak buahku takoyaki sebagai hadiah karena mereka telah bekerja dengan baik akhir-akhir ini.” Jawabnya santai seakan-akan tidak ada apapun yang terjadi.

“Heee. . . Kau baik sekali, tapi aku tidak terlalu peduli dengan itu.” Kataku sembari memasang Glove-Glove di kedua tanganku.

SYUUUT!

Aku melepaskan sebuah pukulan ke arah WM namun meleset.

“Berbahaya sekali kau melepaskan pukulan ke arahku. Kau tahu, takoyaki yang kubeli bisa saja hancur menjadi serpihan-serpihan kecil dan jadi tidak bisa dimakan.” Komentarnya tenang.

“Sudah kubilang kan aku tidak terlalu peduli dengan itu!”

BRUAAAK!

Kali ini pukulanku kembali meleset dan menghantam tembok jalan. Tembok itu langsung hancur menjadi berkeping-keping saking kerasnya pukulanku.

“Alat itu. . . Tidak salah lagi! Itu alat yang dapat meningkatkan kekuatan tangan. Alat milik Mimi yang dinamakannya Glove-Glove!”

“Sudah kubilang juga kan, Mikan-kun. Menyerang dengan alat seperti itu sangat berbahaya sekali apalagi kalau sampai kau mengenai seseorang.”

“Aku tidak peduli dengan semua itu selama kau belum menarik kata-katamu tentang membawa kembali Mimi-chan itu!”

BRUAAK!

Kembali, pukulanku meleset dan menghantam tembok jalan. Tembok itu langsung hancur, tapi aku sama sekali tidak memperdulikannya karena sasaranku hanya satu, lelaki bernama WM di hadapanku ini!

WM menghindar ke tempat yang cukup jauh, lalu dia menaruh plastik berisi takoyaki di tangannya dan kembali melompat ke hadapanku.

“Kurasa dengan begini aku tidak perlu khawatir takoyakiku akan hancur.” Katanya.

“Hooo. . . Apa kau masih dapat berwajah tenang seperti itu ketika aku akan menghancurkanmu dengan kedua tanganku ini?” Balasku mencoba memanas-manasinya.

“Kau tahu? Aku mengetahui sesuatu yang tidak kau ketahui.” Ujarnya dengan senyuman penuh percaya diri seolah yakin dirinya akan menang.

“Oh ya? Kalau begitu katakan apa itu atau tanganku akan membuatmu menjadi serpihan kecil!”

Aku melayangkan sebuah pukulan ke arah WM, tapi sekali lagi dia mengelak. Namun, yang membuatku terkejut adalah dia hanya menghindarinya dengan maju beberapa langkah, lalu menangkap pergelangan tanganku.

“Satu hal yang tidak kau ketahui adalah bahwa meskipun kau memiliki alat ini, tapi itu tidak akan berguna selama kau tidak mengenai musuhmu secara langsung.” Jelasnya sembari mencengkram telapak tanganku dengan kuat.

“Aku. . . Aaarggh. . Ak-Akan mengalahkanmu!”

“Jangan berbicara hal yang dapat membuatku tertawa!”

BUAK!

WM memukul tubuhku dengan tangannya yang tidak mencengkram tanganku.

Aku langsung merasakan sebuah tekanan hebat yang melanda sekujur tubuhku. Tubuhku serasa remuk di seluruh bagian dan akan segera hancur dalam sekejap saja. Namun, aku berusaha untuk menahan seluruh luka dan rasa sakit itu demi satu tujuan, yaitu untuk melindungi Mimi.

“Aaaaaaaaaaaaargh. . .!!!”

Dengan pukulannya itu, WM berhasil menerbangkanku cukup jauh hingga kemudian aku berhenti ketika tubuhku menghantam tembok dan akhirnya terbaring tidak berdaya.

WM melompat ke sampingku untuk melihat kondisiku. Dia menatapku dengan pandangan mengasihani sekaligus merendahkan layaknya dia melihat sesuatu yang hina di hadapannya.

“Kau sekarang mengerti kan perbedaan kekuatan di antara kita?”

Aku menggenggam celana WM dengan kuat seraya berkata, “Aku. . . Tidak. . . Akan. . . Pernah menyerah hanya dengan, , , Luka segini saja!”

DUAK! DUAK! DUAK!

“Aaaargh! Aaaaargh! Aaaargh!”

WM menendang dan menginjak tubuhku berkali-kali dengan membabi buta. Dia seperti tidak peduli lagi dengan keselamatan lawannya, dan mungkin yang ada di pikirannya hanyalah untuk membunuh lawannya sesegera mungkin.

“Sekarang kau sudah mengerti semuanya kan!?” Tanyanya mulai kesal.

“Su-Sudah kubilang. . . kan, aku tidak. .  Akan menyerah semudah itu!” Jawabku bersikeras enggan untuk menyerah.

“Cih! Baiklah, kali ini kau akan kuampuni, tapi lain kali kalau kau membuatku marah lagi, aku tidak bisa menjamin apakah nyawamu akan selamat atau tidak.”

“Baiklah, akan kupegang kata-katamu itu, WM.”

“Hh, jangan terlalu terbawa perasaan atau kau sendiri yang akan menyesal. Ingat, tidak semua yang kau lihat adalah sebenarnya, mereka mungkin saja hanya sebuah ilusi yang terlihat seperti kenyataan di matamu hingga kau nanti menyadari kenyataan yang sesungguhnya.”

“Perkataanmu. . . Terlalu panjang, aku takut tidak dapat memahaminya.”

“Kalau begitu hanya sampai sini dulu saja pertemuan kita kali ini, Mikan-kun.”

WM melompat ke tempatnya meletakan takoyaki miliknya, lalu dia pun segera menghilang dari hadapanku untuk kembali menuju ke pesawatnya. Aku pun berusaha untuk bangkit, lalu berjalan pulang kembali ke rumah tanpa membawa satupun takoyaki di tanganku.

Tadaima!” Ucapku sesampainya aku di rumah.

“Ah, Okaeri.” Sahut Hikari yang tengah sibuk memasak di dapur.

“Di mana Mimi-chan? Dia sepertinya tidak ada di rumah.” Tanyaku yang tak melihat sosok Mimi begitu masuk ke dalam rumah.

“Dia kalau tidak salah bilang kalau dia ada perlu sesuatu membereskan peralatannya.” Jawab Hikari setengah berteriak karena takut suaranya tidak terdengar.

“Ah, sou ka. Pasti alat yang waktu itu kugunakan untuk kabur dari para orang jahat itu.”

Aku segera melepaskan rasa lelah dan rasa sakit setelah bertarung dengan WM dengan duduk di atas sofa di ruang tengah. Ketika tengah bersantai itu, mataku tertuju dengan alat komunikasi yang mirip dengan yang kugunakan ketika berkomunikasi dengan Mimi. Alat itu tergeletak begitu saja di atas meja, mungkin Mimi lupa membawanya, pikirku.

Kucoba menghidupkan alat itu karena penasaran. “Moshi-Moshi? Mimi-chan? Apa kau bisa mendengarku?”

Tidak ada jawaban.

Kutunggu selama beberapa saat, tetapi tetap tak ada jawaban dari Mimi. Mungkin saja dia tidak dapat mendengarku karena terlalu sibuk membereskan barang-barangnya, begitulah pikirku. Namun kemudian, sebuah suara yang kukenali sebagai suara Mimi terdengar dari alat komunikasi tersebut.

“Apa yang kalian lakukan? Lepaskan aku!”

Suara Mimi terdengar seperti sedang dalam kesulitan! Apa yang sebenarnya terjadi dengannya di sana? Mungkinkah ada seseorang yang berusaha berniat jahat kepadanya? Sialan! Aku harus segera menyelamatkannya agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.

“Hikari, aku pergi dulu!”

Haaai! Tapi jangan lupa kembali sebelum makan malam!”

“Tentu saja, aku pastikan aku akan kembali sebelum itu.”

Aku pergi keluar dari rumah dengan terburu-buru. Yang ada di pikiranku sekarang hanya keselamatan Mimi, aku tidak terlalu peduli dengan kondisiku yang masih babak belur ini.


***


“Hoooi, minna! Aku sudah pulang membawa takoyaki gratis untuk ka. . . lian. . . se. . . mua.” Kata-kata WM terhenti ketika melihat kekacauan yang terjadi di dalam pesawatnya.

Semua pasukannya tergeletak dalam kondisi yang tidak berdaya. Mereka nampaknya telah dikalahkan oleh sekelompok orang atau bahkan mungkin hanya seorang diri saja.

“A-Apa yang sebenarnya terjadi di sini!?” Tanya WM yang marah melihat semua anak buahnya dikalahkan dan kini tidak berdaya.

“Ka-Kami dikalahkan oleh buronan kita, Fourge Brothers. Kami benar-benar lengah saat itu, dan entah dari mana mereka tiba-tiba muncul hingga akhirnya berhasil mengalahkan kami semua.” Jelas salah seorang dari mereka.

“Jadi mereka sudah berani datang ke sini ketika aku tidak ada!? Dasar kumpulan pengecut!” Maki WM yang tidak bisa mengendalikan emosinya.

“Ma-Maafkan kami, komandan. . .” Ucap pasukan tadi dengan nada mengiba.

“Aku sama sekali tidak menyalahkan kalian atas kejadian ini, bagaimanapun juga sikap santai kalian yang tengah menungguku dapat kutolerir. Yang tidak bisa kumaafkan adalah mereka yang dengan pengecut menyerang kemari!” Kata WM.

“Komandan. . .”

“Sudahlah! Aku akan pergi, kalian baik-baiklah disini.”

“Ta-Tapi anda akan pergi kemana, komandan?”

“Sudah pasti, kan? Aku akan membalas kekalahan kalian semua!”

“Tapi musuh kita kali ini adalah buronan tingkat satu, kalau anda menghadapinya sendirian ,- “

“Jangan meremehkanku! Begini-begini aku tetap komandan kalian, jadi aku tidak bisa diam saja melihat semua anak buahku disakiti dengan cara seperti ini!”

Ucapan WM itu membuat semua anak buahnya terdiam, kemudian sebagian dari mereka mulai menitikkan air mata karena tidak menyangka sang komandan ternyata adalah orang yang sangat baik dan mau peduli pada mereka.

“Terima kasih, komandan!” Seru semua anak buah WM secara bersamaan.

“Hm, sekarang kalian cepatlah obati diri kalian dan tunggulah aku kembali sambil memakan takoyaki yang kubawa barusan. Aku pergi sekarang!” Ujar WM seraya berjalan keluar dari pesawat dengan langkah gagah tanpa keraguan.


***


Aku terus berlari tanpa memperhatikan semua di sekelilingku. Aku berlari tanpa henti dengan keselamatan Mimi yang terus berada di benakku.

Di sebuah perempatan jalan, seseorang yang tidak kuduga muncul dan aku pun tak sengaja menabraknya karena kehilangan konsentrasi.

BRUK!

“Ah, maaf! Aku tidak memperhatikan jalan karena sedang terburu-buru.” Ucapku sopan.

“Aku juga minta maaf, aku juga sedang terburu-buru karena ada sesu. . a-tu.” Sahut orang itu dengan kalimat yang terputus-putus.

Aku segera mengenali suara tersebut, dan kualihkan pandanganku menuju ke arah orang itu. Begitu melihat wajahnya dengan jelas, entah kenapa aku dengan cepat naik pitam dan mencengkram pakaiannya.

“KAU!? Kau yang bertanggungjawab atas menghilangnya Mimi-chan, kan!? Di mana dia sekarang!?” Tanyaku lepas kendali.

“Apa yang kau bicarakan!? Mimi-chan? Aku sama sekali tidak mengerti! Aku ke sini hanya untuk mencari orang yang melukai anak buahku!” Jawab WM dengan nada tinggi pula.

“Mimi-chan. . . Dia. . . HILANG. . . Kau pasti tahu sesuatu kan!?”

“Me-Menghilang? Apa maksudmu dengan menghilang?”

“Ceritanya sangat panjang, tapi apa benar kau bukan pelakunya, hah!?”

“Jangan bercanda! Anak buahku dikalahkan oleh orang tertentu, mana mungkin aku bercanda dan berbohong saat seperti ini!?”

Aku melihat suatu pancaran amarah dari mata WM, sebuah pancaran amarah yang mungkin sama dengan apa yang kurasakan. Kucoba untuk menenangkan pikiranku sesaat, lalu kucoba untuk kembali berbicara kepadanya.

“Hh, kalau memang seperti itu mungkin kau memang bukan pelakunya. Aku akan ceritakan semuanya.”

“Aku akan siap mendengarkan. Mimi-chan, dan semua awak kapalku sama pentingnya.”

Bibirku pun mulai bergerak menceritakan semuanya, tentang bagaimana aku membantu Mimi dan bagaimana dia terdengar seperti orang yang tengah kesulitan.

“Apa benar tentang alat yang bisa menteleportasikan orang itu?” Tanya WM ketika aku mengakhiri ceritaku.

“Ya.” Jawabku singkat.

“Kalau begitu, kemungkinan kita mencari orang yang sama.”

“Apa maksudmu?”

“Orang yang membuat babak belur awak kapalku dan orang yang menculik Mimi-chan kemungkinan adalah orang yang sama. Aku harap kita belum terlambat.”

“Apa maksudmu? Apa orang itu sangat berbahaya?”

“Orang yang kumaksud bukan hanya satu orang, tapi sekumpulan orang yang dipimpin oleh kakak beradik berbahaya, Monkey Brothers.”

“Mo-Monkey Brothers? Siapa mereka? Apa tujuan mereka?”

“Mereka berdua adalah salah satu buronan kelas satu dari masa depan. Aku pun pergi ke masa lalu untuk mengejar mereka berdua. Mereka kemungkinan besar menggunakan alat berpindah milik Mimi-chan untuk mengalahkan semua anak buahku ketika mereka lengah.”

“Buronan kelas satu. . .? Apa mereka seberbahaya itu? Apa tujuan mereka ke sini?”

“Mereka ingin menjadikan waktu menjadi milik mereka. Mereka ingin mereka ulang kota ini dengan maksud untuk memperluas kekuasaan mereka, dan akhirnya menguasai dunia. Singkatnya, mereka ingin mengubah masa depan.”

“. . . Kalau begitu sekarang juga kita harus pergi menghentikan orang-orang itu, dan menyelamatkan Mimi-chan.”

“Kau benar-benar ingin. . . tapi dengan kondisimu yang sekarang itu tidak mungkin!”

“Tidak ada yang tidak mungkin, keajaiban pasti terjadi. Ya, kalau keajaiban itu tidak ada, aku tidak akan pernah bisa berbicara denganmu di sini.”

“Aku rasa aku mulai mengerti kenapa Mimi-chan merasa tertarik denganmu.” Gumam WM pelan.

“Ah? Apa kau bilang tadi?”

“Tidak, tidak ada apapun. Nah, ayo segera pergi!”

“Ya! Aku sudah siap!”

Dengan WM, yang meskipun aku masih belum tahu asal-usulnya, aku rasa aku mendapatkan suatu kekuatan lebih untuk menyelamatkan Mimi.


***


Kami berdua terus berlari menuju tempatku berpindah tempat waktu itu. Di sana, beberapa orang berpenampilan mengerikan berdiri menjaga salah satu bangunan, dan aku yakin di tempat itulah Mimi sekarang tengah disekap.

“Tidak salah lagi, mereka adalah para anggota kelompok Monkey Brothers.” Ujar WM sembari memperhatikan pergerakan orang-orang yang berada tak jauh dari kami itu.

“Kalau begitu kita serang saja sekarang, kalau ditunda lebih lama Mimi akan dalam bahaya.” Usulku. Aku pun melangkah mendekati orang-orang itu dengan perlahan agar mereka tidak menyadari kedatanganku. Namun, baru saja beberapa langkah, WM mencegahku untuk berjalan lebih jauh.

“Kenapa kau mencegahku? Bukannya kita harus buru-buru?” Protesku padanya.

“Aku tahu itu, tapi yang harusnya memimpin adalah orang yang memiliki kekuatan. Maju!” Serunya member perintah kepadaku.

“Terserah apa katamu saja!” Ujarku mengalah lalu mengikutinya dari belakang.

DUAG!

WM pun memukul jatuh salah satu dari para buronan itu, dan muncul di tengah-tengah mereka dengan tiba-tiba dan membuat mereka semua terkejut bukan main.

“Darimana dia datang!?”

“Tak perlu tahu darimana aku datang!

DUAG! DUAK! DUAK!

Dengan gerakan yang sangat cepat dan tanpa memberikan para musuhnya kesempatan untuk menyerang, WM menyerang dan merobohkan mereka semua hanya dalam hitungan detik saja. Semua dilakukannya tanpa kesulitan yang berarti, bagaikan semudah membalikan telapak tangan.

“Ini bayaran kalian yang telah menyakiti para awak kapalku!” Ujarnya dingin.

“Kau akan mem. . bayar. . . nya, mereka pasti akan mengalahkanmu!”

“Benar! Monkey Brothers pasti akan mengalahkanmu!”

“Hh! Aku sendiri saja sudah cukup untuk mengalahkan mereka semua!” Kata WM menyombongkan dirinya. Aku tidak heran dia bisa berkata seperti itu bila melihat mereka semua yang telah tergeletak tidak berdaya akibat dikalahkan olehnya.

Kikikikiki! Jadi komandan pasukan dari masa depan sendiri yang mengejar kami ke sini, hah? Benar-benar sangat menarik!” Sebuah suara datang dari arah pintu masuk gedung di depan kami, dan sosok pemilik suara itu nampaknya sangat senang dengan kedatangan kami berdua.

“Hh! Cepat tunjukan diri kalian sekarang juga!”

Kikikikiki! Kau memang sedikit pemarah dan tidak sabaran, sama seperti yang aku dengar dari para penjahat lainnya.”

“Sebenarnya kami juga tidak sabar untuk menghajarmu, iya kan, Aniki?”

Dua sosok tinggi besar berwajah mengerikan keluar dari dalam bangunan. Tidak salah lagi, mereka pasti Monkey Brothers, dua buronan bersaudara yang diceritakan oleh WM.

“Kalian berbicara seperti bisa mengalahkanku saja.”

“Kami memang bisa melakukannya, maju, Otouto!”

“Dengan senang hati, Aniki!”

Dua pria besar itu maju menyerang WM. WM pun nampak tak mau kalah dengan mereka, dia juga maju untuk menyerang kedua kakak beradik itu.

DUAK! BUAK!

Sang kakak dari kedua bersaudara itu melepaskan sebuah pukulan ke arah WM, tapi dengan mudah WM menahan serangan itu dengan lengannya. Melihat sang kakak gagal, sang adik melepaskan pukulan pula, tapi kembali dengan tenang WM dapat melihat serangannya dan menahannya tanpa kesulitan berarti.

WM dan kedua kakak beradik itu kemudian mundur untuk sementara dan menyiapkan serangan selanjutnya. WM menoleh ke arahku, “Kau cepat masuk ke dalam sana dan tolong Mimi-chan sekarang juga! Aku akan menahan mereka sebisanya!” Serunya.

“Baiklah!” Sahutku seraya berlari menuju pintu masuk.

“Tidak akan aku biarkan!”

Sang adik menyadari maksudku, lalu dengan cepat dia datang ke arahku dan menghadangku agar tidak bisa masuk ke dalam.

“Biarkan aku lewat! Aku harus segera membawa Mimi-chan pergi!”

“Tidak akan kubiarkan kau lewat sedikitpun dari sini!”

“Biarkan dia lewat!”

DUAGH! BRUAK!

Sebuah tendangan bersarang di wajah sang adik. Dia yang tidak menyadari kedatangan WM hanya dapat menerima tendangan itu mentah-mentah. Akibatnya, dia pun terlempar dan jatuh menghantam tumpukan kotak yang tertumpuk di sekitar bangunan.

“Sekarang! Gunakan kesempatan ini untuk menolong Mimi-chan!”

“Baik, aku mengerti!”

“Sialan kau WM! Kau apakan adikku!?”

Sang kakak terlihat sangat marah karena adiknya berhasil dikalahkan oleh WM. Dengan mata yang dipenuhi amarah, sang kakak menyerang WM dengan kekuatan penuh.

“Aku cuma membuat wajahnya terlihat lebih baik saja, apa itu salah?”

“Aku akan melakukan hal yang sama kepadamu!”

ZRAAAT!

Sebuah rantai panjang tiba-tiba muncul dan menjerat tubuh WM dengan begitu erat. Kemudian dengan cepat sang kakak datang dan melepaskan sebuah pukulan tepat mengarah ke arah WM.

WM mengelak dengan bergerak menunduk dalam keadaan masih terikat sehingga pukulan sang kakak pun meleset. Hal ini membuatnya sangat marah dan menarik rantai yang mengikat tubuh WM ke arahnya sementara tangannya kembali bersiap melepaskan pukulan berikutnya.

“Rasakan ini!”

DHUAK!

WM yang mengira bahwa sang kakak akan menyerangnya dari arah depan berusaha menghindar ke samping, namun tanpa diduga sang adik telah bangkit kembali dan menyerangnya dari arah samping. Tubuh WM terkena tendangan sang adik dengan telak, dan dia pun terlempar akibatnya.

Kikikikiki! Bagaimana? Kau tidak menyangka serangan gabungan kami berdua ini kan? Aku ingatkan saja, kami ini Brothers! Jadi tidak bisa dipisahkan satu sama lain atau dipandang sebelah mata!” Ujar sang kakak dengan sombongnya.

“Cih! Baru sekali saja bisa mengenaiku kalian sudah sangat sombong. Harusnya kalian bukan disebut Monkey Brothers, tapi justru Chicken Brothers! Tapi yah muka kalian memang mirip dengan monyet, apa boleh buat.” Balas WM memancing kemarahan dua bersaudara itu.

“Apa kau bilang!?” Kata sang kakak dengan nada marah.

“Sudah kubilang kan? Kalian ini orang-orang yang payah. . .”

ZRAAAT!

Rantai yang berasal dari tubuh sang kakak dari dua bersaudara itu kali ini melilit kedua lengan WM dengan erat. Kemudian, sang adik melompat tepat ke tengah juluran rantai itu, lalu dia pun menggenggam rantai di sisi kanan dan kirinya itu.

“Kita lihat setelah ini siapakah yang payah.” Sang adik menyeringai licik sambil menguatkan genggamannya pada rantai sang kakak. “Elec Thor!”

ZZZZZRRRRT! ZZZZRRRT!

“Aaaaaaargh!” WM menjerit sekeras-kerasnya ketika serangan listrik bertegangan tinggi menghantam tubuhnya melalui rantai yang mengikat lengannya. Rupanya sang adik memanfaatkan rantai sang kakak sebagai alat untuk mengalirkan serangan listrik miliknya.

WM roboh di antara kedua lututnya. Tubuhnya tidak kuat lagi menahan serangan yang menyengat seluruh sudut tubuhnya. Sementara itu, kedua kakak beradik yang merasa telah berhasil mengalahkannya tertawa lebar dengan sangat puas.

“Bagaimana dengan serangan gabungan kami yang barusan? Aku yakin pasti seluruh tubuhmu itu telah mengakui kehebatan kami berdua sekarang, yang belum hanyalah egomu yang begitu tinggi itu! Jadi bersiaplah untuk dihancurkan hingga berkeping-keping, WM!” Kata sang kakak dengan menyombongkan dirinya dan adiknya.

“Hh! Beraninya hanya ketika lawan kalian tidak bergerak, kalian memang benar-benar pengecut!” Balas WM dengan tenangnya.

“Kaaau! Bersiaplah sekarang juga! Otouto, lakukan!”

“Ah, aku siap, Aniki!”


***


Aku berlari masuk ke dalam bangunan. DI dalam sini cukup gelap, namun tidak terlalu gelap sehingga tidak dapat melihat apapun, cahayanya sudahlah cukup untuk melihat segala sesuatu yang ada di sekelilingku. Segera kupalingkan wajahku ke kanan dan kiri untuk mencari keberadaan Mimi, lalu tak lama kemudian kutemukan gadis itu tergeletak dalam keadaan terikat.

Kakiku langsung melangkah sendirinya dengan cepat menghampiri gadis itu, dan ketika telah tiba di sana maka aku pun segera melepaskan ikatan yang membelit tubuhnya. Namun, ketika baru saja aku mulai melepaskan ikatan tersebut, suara WM yang tengah terdengar kesakitan dan kesulitan di luar sana mengganggu telingaku.

“Aaaaaaargh! Aaaaaaarrgh!”

Berkali-kali WM berteriak kesakitan. Meski memang dia sama sekali tidak mengucapkan permohonan kepadaku agar menolongnya, tapi tetap saja perasaanku tergerak untuk membantunya, terlebih lagi Mimi dalam keadaan baik-baik saja walaupun tubuhnya terikat.

“Kenapa terlihat ragu? Meskipun terlihat seperti musuh, tapi kali ini dia juga membantumu membebaskan Mimi-san, kan? Jadi untuk apa ragu untuk menolongnya?”

Sebuah suara yang sangat kukenal tiba-tiba terngiang di telingaku. Suara itu tepat bersumber dari arah belakangku, lalu aku pun segera menoleh ke arah sumber suara itu dan kudapati sebuah sosok yang telah familiar di mataku. Aku pun segera tersenyum ketika melihat sosoknya.

“Kalau begitu ayo segera beraksi!” Sahutku bersemangat.


***


“Haaahh. . . Haaah. . . Haaah. . .”

“Kau nampaknya sudah tidak bisa melawan lagi. Ini semakin jadi tidak menarik!”

“Kalau begitu apa sekarang aku bisa langsung menyelesaikannya saja, Aniki?”

Sial! Seandainya saja aku bisa meraih pedangku, pasti aku bisa memotong rantai ini!” Gerutu WM dalam hati.

Tubuh WM yang telah dihantam berkali-kali oleh listrik bertegangan tinggi nampaknya sudah mencapai batasnya. Dia sudah tidak dapat bergerak lagi ataupun menghindar, napasnya pun telah tersengal-sengal dan untuk bicarapun lidahnya mulai terasa kaku.

Ikuze! Saatnya serangan penghabisaaaan!”

“Siapa yang akan membiarkanmu melakukan itu, hah!?”

Di saat sang adik hendak melakukan serangan terakhirnya, aku muncul dan mengagetkan kedua kakak beradik itu sehingga gerakan mereka pun terhenti untuk sesaat.

“Kau!? Yang membawamu itu kan. . . Nitenoid!? Bagaimana bisa!?”

“Sialan! Kalau begitu akan kuserang kau terlebih dulu!”

ZZZZZRRRT! ZZZZZZRRRT! DOOM!

Sang adik melontarkan sebuah tembakan arus listrik ke arahku, tapi tentu saja aku yang dibantu sosok Nitenoid yang membawaku dapat menghindar dengan mudah. Ya, seseorang yang sekarang ada bersamaku tidak lain adalah sang Nitenoid, Falcon.

“Falcon! Saatnya melakukan “itu”!”

“Aku mengerti, Mikan-san. Armor: Change!”

“Nah, ayo beraksi sekarang! Armor: Install!”

Falcon yang merubah dirinya menjadi sebuah armor kemudian memasangkan dirinya ke tubuhku sehingga sekarang tubuhku dilapisi dengan armor.

Perubahan ini nampaknya mengagetkan semua orang di sana, tak terkecuali dengan WM yang menatapku antara kagum dan heran. Sementara bagi kedua orang penjahat kakak beradik di hadapanku, mereka menatapku dengan mata tak percaya bercampur ketakutan yang tidak terkira.

“Ke-Kenapa seorang manusia biasa dapat bergabung dengan Nitenoid!?”

A-Aniki! Ini benar-benar berbahaya, a-apa yang mesti kita lakukan?”

“Bo-Bodoh! Kita serang dia bersama-sama! Tidak mungkin kan kita berdua kalah melawan dia yang hanya sendirian? Lagipula sang komandan di sana nampaknya tidak akan bergerak lagi.”

“Kalau begitu aku siap sekarang juga untuk menyerangnya. Aku duluan!”

“Cih! Bagiku biarpun sendirian ataupun kalian berdua sekaligus, itu akan sama saja!”

“Akan kubuktikan ucapanmu itu kalau begitu! Elec Dragon!”

Serangan listrik berbentuk seekor naga dilepaskan sang adik ke arahku. Tanpa panik sedikitpun, aku mengaktifkan boost di kedua kakiku dan meluncur bagaikan cahaya menghadapi serangan itu.

Booooost Puuuuunch!”

Kepalan tanganku yang telah kulipatkan kekuatannya berkali-kali dengan boost kuarahkan tepat ke arah naga listrik milik sang adik sehingga saling beradu. Awalnya serangan listrik itu nampak lebih kuat, tapi kemudian listrik itu terserap menuju ke lengaku dan sekarang seluruh tanganku dialiri listrik dengan tegangan tinggi.

ZZZZZZZRRRT! DHUAAAAAAR!

Pukulan listrikku menghantam sang adik dengan telak dan dengan segera tubuhnya disengat oleh listrik tegangan tinggi miliknya sendiri. Dengan menerima serangan telak seperti itu, dia pun dapat dilumpuhkan dengan mudah dan tidak dapat bergerak lagi untuk sementara waktu.

Melihat semua itu, tentu saja membuat sang kakak merasa marah. Kemudian, dia pun mencoba mengeluarkan rantai miliknya untuk menjeratku. Tapi, belum sempat dia menarik keluar rantainya, aku telah berpindah tempat ke belakangnya dan dengan sekuat tenaga aku menghantamkan tubuhku ke tubuhnya. Hal itu tentu saja membuat tubuh sang kakak terpental ke arah depan menuju WM yang nampaknya telah mengerti maksudku melakukannya.

“Kau bilang egoku tinggi!? Tentu saja! Kau tahu kenapa? Karena kepalaku memang sekeras batu!”

DHUAK!

WM menghantamkan kepalanya sendiri ke kepala sang kakak. Hantaman itu cukup kuat hingga membuat sang kakak tidak sadarkan diri dan ambruk, bersamaan dengan itu pun rantai yang menjerat WM lepas begitu saja. Dengan berakhirnya aksi kedua kakak beradik dan kelompok mereka itu, maka berakhir pula petualanganku kali ini.


***


Setelah membantu WM meringkus seluruh penjahat yang merepotkan itu, aku pun segera membebaskan Mimi meski sayang dia masih belum sadarkan diri. Aku yakin pasti dia pun akan terkejut ketika tahu bahwa orang yang tidak ingin ditemuinya itu kini bekerjasama denganku untuk menyelamatkannya. Yah, meskipun WM sebenarnya datang untuk membalaskan kekalahan anak buahnya, tapi toh dia memang sudah banyak membantu.

“Ternyata kau tidak seperti yang aku bayangkan. Kau ternyata jauh lebih kuat dari yang aku kira, ditambah lagi semangat pantang menyerahmu, pantas saja gadis itu tertarik kepadamu.” Ujar WM sembari menghamipiriku dan melihat kondisi MImi.

“Apa yang kau katakan? Dia itu keluargaku, jangan mengatakan seolah dia suka padaku atau sebagainya. Aku bisa menganggapnya serius, bodoh!”

“Hahaha! Ternyata di balik sikap keras kepalamu itu ada juga sifat pemalu seperti itu. Ini sangat menarik!”

“Bukan urusanmu juga kan!? Lagipula apa tidak apa kalau kita berbicara seolah akrab seperti ini? Padahal sebenarnya kita ini musuh kan?”

“Tenang saja. Kali ini aku akan melepaskan kalian berdua, kurasa sekarang bukanlah saat yang tepat untuk mengambil kembali Mimi-chan. Lagipula aku harus membereskan para berandalan ini terlebih dulu.”

“Tenang, ya? Hh! Mana bisa aku tenang kalau ada seseorang yang ingin mengancam kebahagiaan anggota keluargaku! Aku tidak akan biarkan kau mengambil Mimi-chan!”

“Lain kali kita bertemu, aku pastikan bahwa aku akan membawa Mimi-chan kembali.”

“Tentu saja saat itu aku akan menjadi lebih kuat lagi dari sekarang! Lihat saja! Tapi. . . Apa maksudmu dengan membawa kembali?”

“Kau akan tahu semuanya ketika saatnya nanti, termasuk tentang Time Cluster.”

Time Cluster? Kau tahu sesuatu tentang itu? Kalau begitu beritahu aku!”

“Belum waktunya kau mengetahui semua itu. Nah, sampai nanti!”

“Tunggu dulu! Aku belum selesai bertanya!”

Sebelum aku menyelesaikan kata-kataku, WM telah menghilang masuk ke dalam pesawatnya bersama para tahanan. Para anak buahnya membungkukkan badannya kepadaku, lalu mereka pun menyusul WM masuk ke dalam pesawat dan tidak lama kemudian pesawat itu pun lepas landas meninggalkanku yang masih dibingungkan dengan segudang pertanyaan di benakku.

“Mikan-san?” Tegur Falcon mengejutkanku.

Hai? Ada apa, Falcon?” Sahutku.

“Sudah saatnya kita kembali.”

“Hm, kau benar, Falcon. Sudah saatnya kita pulang, Mimi-chan juga butuh istirahat. Biarlah untuk sementara pertanyaan ini mengambang. Aku yakin suatu saat waktu pasti akan menjawab seluruh teka-teki ini.”

TSUZUKU. . . . .

Fu-Fam - Time VI

Posted by : NAKAMORI KYORYUU
Date :
With 0komentar
Prev
▲Top▲